25 Agt 2019
  Humas Berita,

Muhibah Budaya di Ponorogo, Ngumpulke Balung Pisah

Ponorogo (24/08/2019) jogjaprov.go.id – Ada benang merah antara Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Ponorogo. Benang merah tersebut terajut abadi dalam khasanah sejarah dan budaya Mataram. Hebatnya, kekerabatan sejarah ini terjalin sejak Raja Pertama Mataram, Panembahan Senapati bertahta. Hal itu disampaikan Wakil Gubernur DIY, Paku Alam X mewakili Gubernur DIY pada  Muhibah Budaya di Pendopo Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur pada Sabtu (24/08).

Paku Alam X dalam kesempatan tersebut berkisah bahwa di tahun 1671 dalam Babad Mataram disebutkan Keraton Mataram diserang Trunojoyo dari Madura. Amangkurat I, Raja Mataram meninggal di Tegal, Jawa Tengah. Penerusnya, yaitu Amangkurat II kemudian meminta bantuan kepada Belanda dan Adipati Ponorogo untuk merebut kembali tahta Mataram dari Trunojoyo.

Adipati Ponorogo mengirim pasukan yang terdiri dari pendekar Warok, dan berkat bantuan ini, Ibukota Kerajaan Mataram di Plered, Bantul berhasil direbut kembali. Cikat kaya kilat, kesit kadya thatit, itulah ciri khas Pasukan Warok. Totalitas dan semangat labuh paramarta menjadikan Mataram eksis kembali di tanah Jawa. Sejak saat itu, Pasukan Warok Ponorogo dipertahankan untuk menjaga Istana Mataram.

Para Warok yang berhasil menjaga kraton dari berbagai serangan mendapat hadiah tanah perdikan di sebelah barat kraton, dengan tujuan memudahkan penjagaan kraton ketika diterpa serangan.Tanah perdikan tersebut diberi nama Kulon Ponorogo, yang saat ini dikenal sebagai salah satu kabupaten di DIY, yaitu Kabupaten Kulon Progo yang berati Keraton Mataram sebelah Barat Ponorogo.

Tanah perdikan tersebut berkembang dengan simbiosa peradaban yang melingkupi Ponorogo. Tak heran, sampai sekarang tarian Reyog masih lestari di Kecamatan Sentolo dan Kecamatan Lendah Kabupaten Kulon Progo.

Dikatakannya lebih lanjut bahwa, Budaya Mataram sejatinya adalah persembahan untuk anak cucu kita. Keagungan dan nilai-nilai edipeni dan adi luhung yang terkandung di dalamnya diharapkan menjadi living tradition di kehidupan masyarakat, diterapkan sebagai tuntunan hidup, demi tercapainya tataran masyarakat yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Rahardja, mewujudkan Indonesia yang Panjang Dawa Pocapane, Punjung Luhur Kawibawane.

Di akhir sambutannya Paku Alam X berharap agar Muhibah Budaya ini menjadi harmoni sinergi budaya, silaturahim wilayah, ngumpulke balung pisah. Selain itu acara ini juga mampu memberikan informasi, menjadi ajang edukasi sekaligus wahana rekreasi bagi warga Kabupaten Ponorogo dan sekitarnya.

Sementara itu Bupati Ponorogo, Drs. Ipong Muchlissoni pada kesempatan yang sama menyampaikan apresiasi yang mendalam dengan adanya acara Muhibah Mantaraman ini dan berjanji ingin mengembangkan dudaya yang luhur ini. Kegiatan yang bersifat mengedukasi ini akan terus diuri-uri, tandasnya.

Muhibah Budaya Mataraman ini merupakan upaya merangkai,merajut budaya yang berasal dari Kerajaan Mataram dahulu yang masihhidup dan dilestarikan, berkembang dan dipengaruhi oleh kebudayaan local sehingga menjadi puncak kebudayaan Nasional.

Acara Muhibah Budaya ini mengusung tema “Merajut Budaya Mataraman untuk Indonesia” berlangsung 20 hingga 25 Agustus 2019 dengan berbagai rangkaian acara yaitu, gala dinner, pertunjukkan kesenian dan workshop tari Gagrak Ngayogyakarta, dialog budaya Citra Jogja, pergelaran wayang kulit Gagrak Ngayogyakarta, pameran, sarasehan kesejarahan dan pemutaran film.

Pada pementasan wayang kulit semalam suntuk, Ki Dalang Edi Suwondo membawakan lakon “Bangun Pertapan Saptoharjo". Hadir dalam acara muhibah tersebut antara lain anggota Parampara Praja, GKR Mangkubumi, Asisten Pemda DIY, Paniradya Pati, Forkompimkab, serta beberapa pimpinan OPD di kedua daerah, Kasunanan Surakarta serta tamu undangan. (teb)

 

HUMAS DIY

Bagaimana kualitas berita ini: