21 Jan 2023
  Humas DIY

AHH Tertinggi di Indonesia, Kemiskinan DIY Masih Menjadi PR

Yogyakarta (20/01/2023) jogjaprov.go.id - Kemiskinan di DIY adalah sebuah anomali dengan fakta lapangan yang sangat kontradiktif. Meskipun secara statistik tercatat menjadi provinsi termiskin di Jawa, namun terkait Angka Harapan Hidup (AHH), Indeks Kebahagiaan (IP), Harapan Lama Sekolah (HLS), dan Indeks Kesejahteraan Sosial (IKS), beberapa masih menjadi peringkat tertinggi di Indonesia.

Angka kemiskinan di DIY masih menjadi perhatian besar bagi stakeholder pembangunan di DIY. Kemiskinan ini tentu tidak bisa lepas dari indikator kesejahteraan masyarakat lainnya. Secara statistik, tercatat menjadi provinsi termiskin di Jawa, namun terkait usia harapan hidup, indeks kebahagiaan, harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah, serta beberapa indeks kemajuan daerah lainnya, masih menjadi peringkat tertinggi di Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah tingkat pengangguran yang jauh di bawah rata-rata nasional.

Fakta yang tercermin dari indikator pembangunan ini menjadi hal yang bisa jadi bertolak belakang terhadap catatan BPS mengenai kemiskinan di DIY. Secara logika, apabila benar-benar miskin, tentunya akan diperkuat dengan fakta tingginya angka putus sekolah, tingginya pengangguran, serta harapan hidup dan indeks kebahagiaan yang juga rendah. Namun faktanya, hal ini tidak terjadi di DIY, bahkan, unsur pendidikan, kesehatan, harapan hidup dan kebahagiaan masih menjadi salah satu yang terbaik di Indonesia, bukan hanya di Pulau Jawa.

Kepala Bappeda DIY Beny Suharsono menyebutkan, jumlah penduduk miskin di DIY pada September 2022 tercatat sebanyak 463.630 orang atau naik 8.900 orang dibandingkan pada data Maret 2022. Meski demikian, warga miskin di DIY pada September 2022 turun 10.900 orang dibandingkan data Susenas pada September 2021.

Kondisi ini juga sejalan dengan kondisi pemulihan ekonomi yang terjadi di DIY. Perekonomian DIY pada triwulan III-2022 terhadap triwulan III-2021 tumbuh sebesar 5,82 persen. Seiring dengan perkembangan aktivitas pariwisata, ekonomi DIY tumbuh relatif lebih cepat dibandingkan dengan provinsi lain se-Pulau Jawa. Menurut data dari BPS, pada triwulan III-2022 ini, pertumbuhan ekonomi DIY berada pada peringkat ke-3 setelah Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Berdasarkan perhitungan angka kemiskinan DIY tercatat sebesar 11,49 %. Persentase ini berada di atas rerata nasional yaitu 9,57%. Namun Beny menekankan, kemiskinan bukan hanya dilihat dari statistik angka saja. Namun harus juga dilihat bagaimana kehidupan masyarakat dengan parameter-parameter lain seperti tingkat harapan hidup, tingkat pendidikan, tingkat kebahagiaan dan lainnya.

“Bisa dilihat, angka-angka ini sering kontradiksi yang tidak sesuai dengan paradoks atau anomali. Tentu kami tidak ingin berlindung di situ terus, tapi fakta yang lain kan juga memang menunjukkan bahwa statistik misalnya soal usia harapan hidup, soal angka kebahagiaan, soal angka harapan rata-rata lama sekolah, soal indeks kesejahteraan, menunjukan hal yang bertolak belakang dengan angka statistik kemiskinan,” papar Beny saat ditemui di Kompleks Kepatihan, Danurejan, Yogyakarta pada Jumat (20/01).

Tidak ingin berlindung dibalik kata anomali, Beny bersama jajaran menargetkan selesainya penanganan kemiskinan ektrem pada tahun 2024. Hal itu secara serius dan masiv dilakukan melalui dukungan Gubernur DIY atas peningkatan perlindungan sosial dan jaminan sosial. Pemda DIY juga telah menetapkan 15 kapanewon sebagai fokus penanganan kemiskinan di DIY. Selain itu Pemda DIY juga serius mengkonsolidasikan data sasaran, agar dalam pelaksanaannya menjadi tepat sasaran.

Selain itu, 2022 lalu Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X juga mencanangkan visi misi untuk membangun daerah selatan sebagai salah satu upaya pemerataan pembangunan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemda DIY adalah membuka akses yang lebih baik di wilayah selatan. Kawasan selatan DIY memiliki potensi pariwisata yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perlu juga diingat potensi 12 mil garis pantai DIY, ini bukan hal yang patut diabaikan. Tiga kabupaten yaitu Kulon Progo, Gunungkidul dan Bantul menjadi fokus utama pengentasan kemiskinan DIY.

Akademisi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta Dr. Murti Lestari M. Si mengungkapkan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan hasil BPS yang mengatakan DIY adalah provinsi termiskin di Jawa. Kemiskinan didasari oleh pendapatan, dan diukur oleh pengeluaran. Namun ada hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Tingkat kebahagiaan, harapan hidup dan lainnya tidak lantas menjadi buruk dengan predikat miskin ini.
 
“Antara kemiskinan, kebahagiaan, harapan hidup, itu memang beberapa terminologi yang berbeda. Antara pengeluaran dan kebahagiaan itu beda terminologi, orang bisa saja pengeluaran kecil tapi bahagia ketika kerukunan dengan tetangga baik, persaudaraan baik, ora do rebutan rejeki, dan lain-lain, itu orang bahagia kemudian panjang umur, itu bisa,” jelas Murti.
 
Kemiskinan adalah mengukur besarnya pengeluaran yang sesuai dengan standar. Sementara kebahagiaan dan harapan usia memiliki dimensi sosial yang lebih kuat dan lebih kental. Murti mengklaim orang bisa bahagia walaupun secara materi tidak berlimpah. Menurutnya, DIY berhasil  menciptakan harmoni hidup yang kondusif, sehingga orang bahagia dan panjang umur meskipun belum berhasil berpenghasilan di atas garis kemiskinan.
 
“Sebetulnya kemiskinan tertinggi di Jawa itu tidak tinggi-tinggi amat kok, di luar Jawa jauh lebih tinggi itu masih banyak. Jadi kalo saya pribadi tidak terlalu pusing dengan itu (status kemiskinan tertinggi). Yang penting adalah menjaga kehidupan yang baik, tingkat kesehatan tinggi, tingkat pendidikan tinggi, stunting ga ada. Miskin tapi ternyata kesehatan baik, pendidikan baik, umurnya panjang, bahagia, yowes ga usah terlalu pusing,” ungkap Murti.
 
Meskipun mengatakan tidak perlu mempermasalahkan status kemiskinan tersebut, namun DIY perlu memiliki upaya peningkatan pendapatan. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah menciptakan lapangan kerja di kelas bawah, meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan pendapatan pelaku usaha kecil.  Perlu juga diadakan program-program yang disesuaikan dengan pengentasan kemiskinan bagi masyarakat kelas bawah. Namun begitu, perlu pula adanya monitoring dan evaluasi terhadap program-program tersebut.
 
Pada beberapa wilayah di Jawa, luar DIY, banyak yang memiliki industri. Satu industri/perusahaan bisa memberikan masyarakat kelas bawah pekerjaan dengan upah UMR. Jika itu terpenuhi maka masyarakat dapat hidup di atas garis kemiskinan. Namun DIY tidak pada kondisi seperti itu. DIY tidak memiliki banyak lokasi yang cocok untuk industri, serta tidak cocok untuk bisnis manufaktur. Karenanya mengentaskan kemiskinan adalah bisa dilakukan dengan dengan cara menggerakkan usaha kecil ataupun bentuk lain.
 
“Misalnya di Jawa Tengah banyak relokasi industri karena jalan tol. Nah kalo orang ditanya kerja apa lalu di jawab kerja di pabrik pendapatan di atas UMR, ya sudah itu sudah lebih dari garis kemiskinan pasti. Beda kalo misalnya ditanya kerja apa terus dijawab saya kerja di angkringan, nah angkringan kan masih dikejar, per hari dapat berapa perbulan dapet berapa. Nah itu belum tentu menjamin bahwa pendapatannya di atas garis kemiskinan,” pungkasnya. (uk)
Humas Pemda DIY

Bagaimana kualitas berita ini: