17 Okt 2022
  Humas DIY Agenda Kegiatan,

Asal-usul Yogyakarta (Bagian II)

Selanjutnya, sejarah mencatat adanya peristiwa besar yang pada akhirnya membagi kekuasaan Mataram Islam menjadi dua. Peristiwa itu adalah Perjanjian Giyanti yang dilaksanakan pada 13 Februari 1755. Sejak saat itu, Mataram Islam terpecah menjadi dua yakni Kasunanan Surakarta dengan Susuhunan Paku Buwono III sebagai raja pertamanya dan Kasultanan Yogyakarta dengan Sri Sultan Hamengku Buwono I (Pangeran Mangkubumi) sebagai raja pertamanya. Dua hari setelah Perjanjian Giyanti, dilaksanakan Perjanjian Jatisari yang membagi kebudayaan dan kesenian kedua belah pihak seperti gamelan, cara berbusana, tarian, dan sebagainya. 

Setelah menjadi raja, Sri Sultan Hamengku Buwono I selanjutnya mesanggrah atau menempati Pesanggrahan Ambarketawang sembari menunggu bangunan Keraton Yogyakarta selesai dibangun. Pembangunan Keraton sendiri dilaksanakan sekitar satu tahun dan selesai pada oktober 1756. Sri Sultan Hamengku Buwono I selanjutnya menempati bangunan Keraton pada Kamis Pahing, 7 Oktober 1756/Tahun Jawa 1683 dan masuk melalui Regol Gadhung Mlati di Kompleks Kamandungan Lor. Peristiwa tersebut dilambangkan dengan sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal dengan simbol dua naga yang saling bertolak belakang namun dengan ekor yang saling melilit. Jika dibaca sesuai dengan kaidah sengkalan, dua naga tersebut menyiratkan angka tahun 1682 (Tahun Jawa). 

Di sisi lain, tanggal 7 Oktober selanjutnya diperingati sebagai Hari Jadi Kota Yogyakarta. Sementara, untuk memperingati peristiwa bersejarah yang jatuh pada Kamis Pahing itu, Gubernur DIY menerbitkan Peraturan Gubernur No.12/2025 tentang penggunaan busana Jawa gagrak Yogyakarta bagi ASN di lingkup Pemda DIY setiap Kamis Pahing dan hari besar lain yang ditentukan kemudian. 

Bagaimana kualitas berita ini: