25 Sep 2022
  Humas DIY Berita, Agenda Kegiatan,

Hanung Bramantyo: Jogja Istimewa Mendunia, Wadah Berekspresi Berlandaskan Budaya

Jakarta (24/08/2022) jogjaprov.go.id - Tak banyak yang tahu, darah seni telah mengalir dalam tubuh seorang Hanung Bramantyo sejak usia remaja. Sebelum namanya dikenal sebagai sutradara kenamaan asal Jogja, Hanung muda mendedikasikan dirinya pada dunia teater. Baginya, atmosfer budaya dan seni di Jogja, sebagaimana tempat kelahirannya yang masih berada di dalam kawasan jeron beteng dan dekat Keraton, membawa pengaruh besar pada caranya berpikir dan berinovasi. 

“Pemikiran-pemikiran saya, pola pikir saya masih sangat Jawa sekali di sini. Itu soal tepa selira, tidak enakan hati, dan segala macam begitu. Nah jadi, saya memang dari lahir sudah berada dalam lingkungan kebudayaan sehingga pada saat saya usia SD kelas 5, itu saya sudah membuat grup teater sendiri di sekolah,” kenang Hanung. 

Namun begitu, hasratnya menjalani seni teater tak semulus yang diinginkan. Saat SD dan SMA, ia sempat dilarang pentas oleh gurunya sehingga ia memilih untuk pindah sekolah dan justru mendapatkan ruang ekspresinya di SMA N 1 Prambanan, Sleman. Semasa berkuliah di Institut Kesenian Jakarta, jiwa seninya terus terasah melalui film yang diproduksinya yakni Tlutur. Film ini berhasil membawanya ke Festival Film Internasional di Finlandia. Tlutur selanjutnya menjadi cikal-bakal gaya film dokumenter di tanah air. 

“Di Jakarta itu ketika saya buat film itu (Tlutur), semuanya pada ndomblong. “Hah? Anak kuliah dari Jogja punya pemikiran kayak gini?” Buat saya Ya Allah, itu kalau di Jogja itu ‘ombyokan’ caah…saya cuma ngambil sekelumit kemudian dibuat film pendek, dapat juara satu dapat uang Rp5 juta saat itu. Saya cuma garuk-garuk, se-ndeso ini toh Jakarta,” selorohnya.

Ia menganggap, pola pendidikan dan ruang yang diberikan Jogja untuk berkembang, membentuk pengetahuan dan jati dirinya sebagai seorang filmmaker yang tetap nguri-uri budaya Jawa. Hanung merasa bahwa Jogja sangat mendukung terbentuknya atmosfer berkesenian dan berkreasi bagi siapa saja. Ia pun lantas teringat dengan cita-cita seorang kawan ayahnya yang masa itu menjabat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 

“Konsep ini disebutnya sebagai Putri Sima atau Pusat Industri Sinema Mataram dan saat itu sudah disetujui Ngarsa Dalem. Ini semacam ada krenteg, ada sebuah ekosistem yang memang harus sudah terpikirkan saat itu, yakni sebuah pusat industri sinema di Jogja,” katanya, Rabu (24/08) sore di Jakarta. 

Hingga kini, belasan film Hanung memiliki peminat yang luar biasa, baik di tanah air maupun mancanegara. Sebut saja beberapa diantaranya Ayat-ayat Cinta, Sang Pencerah, Soekarno, Perempuan Berkalung Sorban, Jomblo, Bumi Manusia, Kartini, Sultan Agung, yang terbaru adalah Miracle in Cell No:7 dan Satria Dewa: Gatotkaca. 

Satria Dewa Gatotkaca sendiri dibuatnya bersama Satria Dewa studio dengan tujuan untuk melakukan packaging ulang, mengemas ulang tokoh-tokoh pewayangan Indonesia. Utamanya yang menjadi superhero nusantara, superhero asli yang dimiliki Indonesia. Menurutnya, langkah semacam ini penting dilakukan karena saat ini dunia telah masuk ke era digitalisasi. 

“Alangkah anehnya kalau kemudian bangsa ini, yang banyak sekali pemikiran bagus yang didapat dari kultur yang kita punya tidak kita kemas. Sehingga nantinya anak-anak malah mengonsumsi pemikiran atau role model dari luar, yang ternyata itu justru mengambilnya dari kita,” urainya. 

Ia mengaku bahwa hampir seluruh proses produksi Satria Dewa: Gatotkaca dilakukan di Jogja. “Dan kalau kita merujuk pada kota Jogja, nah ini semua dilakukan kota Jogja jadi setting-nya di Jogja, terus kemudian banyak menggunakan sumber daya manusia dari Jogja. Jadi ini menambah penghasilan, membuka lapangan pekerjaan dan memberikan kesempatan yang paling penting memberikan kesempatan untuk naik kelas lagi, upgrade lagi, untuk lebih mumpuni dibandingkan dengan sebelumnya itu,” imbuhnya.

Meski menurutnya, teknologi editing film Indonesia masih jauh dari cita-cita, saat ini para pegiat industri film sedang berusaha mengejarnya. “Tentang nilai-nilai yang dibawa oleh si Gatotkaca itu sendiri dari kisah-kisah pewayangan yang ada, dikemas dengan teknologi yang kita berusaha sekali untuk menyamai. Alhamdulilah memang secara respons itu mengagetkan, ternyata mereka (penonton) sangat memuji aspek animasinya, CGI, ini salah satu yang melegakan,” katanya.

Hanung pun merasa bahwa segala pencapaiannya, tak dapat dilepaskan dari nilai-nilai keistimewaan Jogja yang dipahaminya sampai kini. Mikul dhuwur mendem jero serta Hamemayu Hayuning Bawana, merupakan dua nilai Jawa yang terus diyakininya sampai kini. 

Ia berharap, keistimewaan Jogja di kemudian hari tak hanya dimaknai dari filosofinya. “Namun lebih dimaknai sebagai sebuah hasil karya yang istimewa, tidak hanya diminati lokalitas, namun juga dinikmati semuanya, oleh seluruh dunia. Itu yang menurut saya lebih penting,” tutupnya. 

Baginya, Jogja itu tidak kurang dari itu semuanya, maka dari itu, cara untuk menciptakan itu, Hamemayu Hayuning Bawana tadi itu harus dimaknai lebih luas. “Jadi ciptakan satu iklim di kota itu memang iklim kreatif, yang orang bisa melakukan kreativitas di mana pun, setelah kreativitas itu muncul, itu yang harus disengkuyung terus,” harapnya. 

Ke depan, adanya kepemimpinan seorang Sri Sultan Hamengku Buwono X bersama Sri Paduka Paku Alam VIII, dapat terus memberikan ruang bagi berkembangnya kesenian dan industri kreatif di Jogja. Sosok raja dan adipati yang hadir di era digital mau tak mau dituntut untuk dapat menempatkan diri dan menerima digitalisasi. “Makanya tidak heran kalau sekarang beliau (Ngarsa Dalem) membangun menggunakan pendekatan seni,” ujarnya. 

Meski demikian, pro kontra terhadap rencana Ngarsa Dalem selalu terjadi. Baginya, hal tersebut lumrah terjadi mengingat setiap orang yang sedang berkarya selalu ada pro dan kontra di dalamnya. “Peradaban itu kan selalu ada tantangan dan tanggapan, sudah. That`s it!.”

Hanung beranggapan, sebagai sosok raja yang ada di zaman milenial harus dapat membentuk framing Jogja lebih menarik dan populer selain sebagai Kota Pendidikan dan Budaya. “Jogja itu, kota tersebut, tempat tersebut, harus bisa di-capture dengan sekali tarikan napas, kan begitu toh,” tutupnya. [vin]

Simak tayangan selengkapnya Menjadi Jogja, Menjadi Indonesia episode Hanung Bramantyo melalui kanal Youtube Humas Jogja berikut ini. 

HUMAS DIY



Bagaimana kualitas berita ini: