15 Sep 2022

Jogja, Tempat Kalangan Intelektual Tumbuh Subur

Yogyakarta (14/09/2022) jogjaprov.go.id - Jogja di mata seorang Psikolog Anak, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid sejak lama sudah menjadi tempat ternyaman bagi kalangan intelektual untuk tumbuh 'subur'. Bahkan sampai saat ini banyak pemikir hebat Indonesia yang 'terlahir' dan ‘besar’ di Jogja.

“Jadi sebagai sebuah kota, sebetulnya Jogja itu kosmopolit, karena pemikirannya besar, tapi pada saat yang sama sangat berakar ke bumi. Hidupnya itu tidak lepas dari kearifan lokal. Itu yang saya rasakan dan akhirnya terbawa ke semangat sampai sekarang ini ketika saya berhikmah untuk bangsa,” ujar Alissa saat diwawancarai di Kantor PBNU Jakarta pada Selasa (23/08) lalu.

Diakui anak sulung Presiden RI ke-4 K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini, keunggulan dari Jogja itulah yang juga membuat jaringan GUSDURian memilih Jogja sebagai tempat tinggal sekretariat nasional. Dan sebagai Direktur Nasional GUSDURian Network Indonesia, selama ini Alissa berupaya merangkul ribuan aktivis di seluruh Indonesia untuk mempromosikan dialog dan pemahaman antaragama, kemasyarakatan yang aktif, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).

Menurut Alissa, pluralisme merupakan sebuah pandangan yang menghormati perbedaan yang ada. Baginya pluralisme mencakup sikap mengakui dan menghormati, tidak memaksakan kehendak mayoritas terhadap minoritas. Dan pluralisme tidak hanya berkaitan dengan urusan suku atau agama.

"Jadi misalnya soal teman-teman yang difabel, mereka itu juga masuk di dalam cara berpikir kita ketika kita seorang pluralis. Artinya, ketika kita membuat program atau apapun itu kita memperhitungkan bahwa ada kebutuhan yang berbeda-beda dari berbagai kelompok masyarakat," jelas perempuan kelahiran Jombang ini.

Alissa mengatakan, pada dasarnya Jogja merupakan daerah yang majemuk masyarakatnya. Masyarakat yang tinggal di Jogja adalah orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang. Bahkan sangat banyak masyarakat Jogja yang justru aslinya bukan Jogja, lahirnya tidak di Jogja, tetap memilih menjadi warga Jogja, seperti ia dan suaminya.

“Contohnya kami, ketika sudah menikah kami memutuskan untuk menjadi orang Jogja. Mungkin itulah yang membuat Jogja kaya dengan perbedaan, dan pluralisme menjadi cara berpikir yang membuat kekayaan yang ada itu justru betul-betul memberi kontribusi kepada Jogja,” imbuhnya.

Dikatakan alumni Fakultas Psikologi UGM ini, Jogja sebagai kota yang kosmopolit dan memiliki segmen terbesar warga yang terdidik, menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana kemudian Jogja berupaya untuk menjaga autentisitasnya, akar tradisinya tanpa harus gamang terhadap tradisi atau informasi baru yang masuk. Bagaimana generasi muda Jogja tetap tertarik dengan budaya dan tradisi Jogja dan bisa ikut merawatnya.

“Bagaimana proses hidup di Jogja itu memang membuat anak-anak muda ini jadi peka terhadap nilai-nilai yang menghidupi Jogja dan bangga dengan itu. Masalahnya anak muda tidak bisa kita paksa, tidak bisa kita suruh. Semua itu harus dari proses pencarian mereka. Maka kita-kita yang dewasa harus menyediakan sarana agar anak-anak ini jadi lebih mencintai Jogja,” paparnya.

Duta Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia sejak 2019 ini pun menuturkan, keistimewaan Jogja baginya justru terletak pada sistem sosial dan orang-orang Jogja sendiri. Menurutnya, sistem sosial di Jogja demikian guyub. Hal ini tampak dengan arisan bapak-bapak yang masih sangat banyak ditemukan di Jogja. Kegiatan pengumpulan jimpitan dan ronda juga dijadikan sarana untuk berdiskusi memikirkan hal-hal yang terjadi di lingkungan mereka.

“Modal sosial yang sangat besar itulah yang membuat Jogja istimewa. Harapan saya, memasuki dasawarsa kedua keistimewaan Jogja nanti, secara sengaja bisa dilakukan berbagai upaya-upaya untuk melestarikan bahkan memperkuat keistimewaan ini sendiri. Untuk itu harus ada upaya yang dilakukan secara sadar dan sistematis, sehingga kita bisa menghidupkan nilai-nilai tersebut,” katanya. (Rt)

HUMAS DIY

Bagaimana kualitas berita ini: