29 Sep 2022

Kesederhanaan, Perjuangan dan Ora Umuk Jadi Nilai Keistimewaan DIY

Yogyakarta (29/09/2022) jogjaprov.go.id – Membangun DIY versi Susilo Nugroho adalah menyematkan begitu banyak nilai-nilai hidup dalam setiap karyanya. Menjadikan generasi muda menjadi lebih paham atas nilai-nilai tersebut adalah tujuan utamanya.

Susilo Nugroho, seniman asli DIY pada Rabu (24/08) di Gudang Digital, Yogyakarta banyak bercerita mengenai keistimewaan DIY di matanya. Keistimewaan baginya hanya sekedar warisan budaya benda seperti bangunan tradisional peninggalan nenek moyang saja, tapi seluruh aset non benda yang salah satunya berupa nilai-nilai kehidupan.

"Dalam bayangan saya, keistimewaan itu ora ming ajeg ngono ngono wae. Ada hal esensial yang tetap dan harus dipertahankan contohnya adalah kerja keras, kesederhanaan, ora umuk, mungkin kebersamaan dan lainnya. Menjadi Jogja adalah kebanggan," tutur seniman kawakan tersebut.

Kesederhanaan, perjuangan dan sikap ora umuk adalah ajaran yang ia pegang teguh dari sang ayah yang seorang tentara. Cerita unik mengalir ketika Susilo mengatakan ayahnya adalah tentara yang tidak pernah memegang senjata. Ayahnya lebih banyak mencari tambahan penghasilan untuk para tentara lain yang kala itu memang belum begitu terjamin ekonominya. Dari situ, Susilo paham, berjuang bukan hanya soal perang dan angkat senjata. Mengabdi dengan tulus adalah bentuk perjuangan tertinggi yang bisa dipersembahkan untuk pertiwi.

“Bapak saya itu tugasnya nggolekke tambahan. Ke Gunungkidul misalnya, ono wong sing arep ngangkutke gaplek yo diangkutke. Upahnya apa? Yo gaplek. Dibawa ke Jogja, dibagi ratusan orang. Jadi tentara itu bawa gaplek nganggo kreneng itu. Sesuk entuke areng, ya udah tambahan areng. Plus gaji kira-kira 40-50ribu per bulan. Saya jadi sadar, o nek ngono berjuang itu tidak harus tembak-tembakan ya, ini bagian dari perjuangan Bapak saya,” ujar Susilo.

Hal lain yang ia camkan betul dalam hidupnya adalah menghindari judi. Judi bagi keluarga besar Susilo adalah hal paling tabu dan paling buruk. Ada sejarah keluarga yang telah membuktikan hidup yang tidak tenang karena judi. Maka ajaran turun temurun mengenai menghindari judi inilah yang terus ia pegang dan ajarkan ke anak cucu.

Banyak nilai luhur yang ditanamkan oleh orang tua Susilo sejak masih kecil. Seperti dia yang tidak pernah mendapat uang saku ke sekolah, harus membantu sang Ayah mbabar dan nglorot untuk mendapatkan celana idaman, dan lain sebagainya. Susilo sadar, apa yang ditanamkan ayahnya adalah nilai yang tidak akan dia dapat di bangku pendidikan formal.

“Saya sudah dilatih untuk profesional kerja. Lha yang diceritakan bapak itu tidak berwujud barang semua, tapi sikap. Keistimewaan kita opo ming cukup mbenakke bangunan rusak? Menyelamatkan  bangunan itu penting, tapi cukup gak? Enggak,” tegas Susilo.

Lahir dari keluarga pengusaha tidak menyurutkan tekad Susilo Nugroho berkesenian. Susilo Nugroho muda mulai terjun dalam seni peran sejak duduk di bangku SLTA pada tahun 1977. Tahun 1983 bersama dengan Heru Kesawa Murti, Jujuk Prabowo, Sepnu Heryanto dan Saptaria Handayaningsih mendirikan teater Gandrik.  Saat ini ia sering menjadi pemeran utama dalam berbagai pementasan Teater Gandrik yang didirikannya puluhan tahun silam ini.

Den Baguse Ngarsa, begitu dia lebih dikenal oleh masyarakat luas. Dirinya berhasil masuk sebagai pelakon antagonis dalam acara siaran Mbangun Deso di TVRI Yogyakarta pada tahun 1990an. Dalam peran itu ia digambarkan sebagai priyayi yang sombong, sering bicara nylekit, menyakiti lawan bicara, sok tahu dan mau menang sendiri.

Tidak hanya berkesenian, pria gaek yang lahir pada 5 Januari 1959 ini juga seorang abdi negara. Susilo Nugroho adalah seorang guru di SMKN 1 Bantul sebelum purna tugas 3 tahun yang lalu. Usai purna tugas sebagai ASN guru, saat ini Susilo Nugroho fokus berkesenian. Berbagai karya lahir dari tangan dinginnya. DIY baginya adalah ‘rumah’ tempat dia bisa berkarya. Membangun generasi muda yang melek budaya, melek keistimewaan. Generasi muda yang tidak lupa dan bangga atas Jogja.

Banyak naskah yang lahir dari tangan Susilo dengan memasukkan unsur nilai luhur buah cerita dari sang ayah. Semangat itu yang dia bawa dengan sangat apik, dibungkus naskah yang menarik. Naskah Ndoro Purbo misalnya, lahir karena ada tokoh Ndoro Purba pada zaman dahulu. Suryo Mentaram pun demikian. Lalu ada naskah berjudul Ontran-Ontran Bumi Wangi, yang bercerita mengenai Ibu Kota RI yang pindah ke Yogyakarta. Wong Agung Bumi Wangi yang menceritakan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Kota Baru Lunas Janjiku yang berisi penyerbuan markas Jepang di Kotabaru. Ada juga Opak - Progo Wis Nyawiji, yaitu pembuatan Selokan Mataram yang banyak tidak diketahui sejarahnya oleh masyarakat. Karya-karya itu diungkap Susilo untuk mengenalkan betapa DIY itu kaya.

“Keistimewaan Jogja itu unsur yang paling penting adalah saya harus bangga Jogja. Bagaimana caranya? Cerita-cerita lama itu jangan sampai hilang. Bangunan-bangunan lama, cerita-cerita lama jangan sampai hilang,” tegasnya.

Apalagi di mata Susilo, DIY adalah rumah yang isinya bisa sangat menyesuaikan dengan siapa yang datang. Penduduk asli siap menyesuaikan dengan pendatang. Maka sesuai jika menurutnya ada ungkapan kalau ada orang Sumatera datang, jangan menjadi orang Yogyakarta karena sulit. Jadilah orang Sumatera yang baik yang tinggal di Jogja. 

“Orang Jogja siap menyesuaikan diri. Jogja itu pemaaf kok,” tutupnya. (uk)

Humas Pemda DIY

 

Bagaimana kualitas berita ini: