04 Jun 2024
  Humas DIY Berita,

Lebih Sekadar Olahraga, Jemparingan Ajarkan Olah Rasa dan Karsa

Yogyakarta (03/06/2024) jogjaprov.go.id – Jemparingan merupakan olahraga panahan tradisional asal Yogyakarta yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) dalam domain Kemahiran dan Kerajinan Tradisional. Olahraga ini pada awalnya hanya dilakukan di kalangan keluarga Kerajaan Mataram hingga dijadikan perlombaan di kalangan prajurit kerajaan.

Dalam rangka Hadeging Kadipaten Pakualaman ke-212 tahun, lomba Jemparingan Yogyakarta pun turut digelar sebagai wujud pelestarian olahraga WBTb ini. Ketua Panitia Hadeging Kadipaten Pakualaman, Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Kusumo Bimantoro menuturkan, jemparingan bukan hanya sekadar sarana olah raga ketangkasan, melainkan pula sarana untuk mengolah rasa dan karsa.

“Makna khususnya jemparingan yakni sebagai olah raga, olah rasa, dan olah karsa. Kita berlatih untuk mengatur diri sendiri, mengenai bagaimana cara kita untuk mengalahkan diri kita sendiri karena sering distraksi itu datang dari diri kita sendiri,” ucap BPH Kusumo Bimantoro saat ditemui dalam gelaran lomba Jemparingan Mataraman, Minggu (02/06) di Lapangan Kenari, Yogyakarta.

Berbeda dengan memanah pada umumnya yang dilakukan secara berdiri, jemparingan yang berasal dari kata jemparing berarti anak panah ini dilakukan dengan duduk bersila. Pemanah jemparingan gaya Mataram tidak hanya memanah dalam kondisi bersila, namun juga tidak membidik dengan mata. Busur dalam jemparingan diposisikan mendatar di hadapan perut sehingga bidikan panah didasarkan pada perasaan pemanah.

Gaya memanah tersebut sejalan dengan filosofi jemparingan gaya Mataram yaitu pamenthanging gandewa pamanthenging cipta yang bermakna bahwa membentangnya busur seiring dengan konsentrasi yang ditujukan pada sasaran yang dibidik. Filosofi ini dalam kehidupan sehari-hari mempunyai pesan agar manusia yang memiliki cita-cita hendaknya berkonsentrasi penuh pada tujuan tersebut agar cita-citanya dapat terwujud.

Filosofi tersebut mengingatkan bahwa dalam meraih harapan, musuh utama manusia adalah dirinya sendiri. Mengenai seberapa mampu manusia mengarahkan rasa dan karsanya, segenap hati penuh konsentrasi kepada tujuan yang ingin dicapai.

“Memang jemparingan selalu dikenal oleh orang-orang yang sudah berumur. Akan tetapi, tahun demi tahun kita berusaha melakukan pengenalan, kita melakukan sosialisasi melalui acara-acara seperti ini, melalui acara-acara, lomba-lomba, dan sayembara-sayembara jemparingan untuk mengenalkan jemparingan kepada generasi-generasi muda, supaya regenerasi. Regenerasi pengembangan dan pelestarian budaya jemparingan,” jelas BPH Kusumo Bimantoro.

Pada kesempatan tersebut, Abdi Dalem Pura Pakualaman Urusan Kapanitran KMT Sestrodiprojo menyampaikan, jemparingan juga khas dengan busana yang harus dikenakan. Dimana pemanah jemparingan diwajibkan untuk memanah dengan mengenakan pakaian daerah masing-masing, seperti busana pranakan atau surjan, apabila berasal dari Jawa.

Busur yang digunakan dalam jemparingan sendiri disebut dengan gandewa. Sementara sasarannya bukanlah lingkaran, melainkan berupa silinder kecil yang disebut wong-wongan atau bandul yang mencitrakan orang yang sedang berdiri. Bentuknya silinder tegak sepanjang 30 cm dengan diameter sekitar 3 cm. Sekitar 5 cm di bagian atas diberi warna merah yang dinamakan molo atau sirah (kepala). Kemudian bagian bawah diberi warna putih dan dinamakan awak (badan).

“Jadi sasaran jemparingan itu berupa bandul. Kalau merah itu nilainya 3, itu dianggap kepala. Yang badan itu yang putih, itu nilainya satu. Setiap rambahan atau ronde istilahnya, itu anak panahnya cuma 4. Dikalikan 20 rambahan atau 20 ronde, jadi orang itu memanah 80 kali,” urai KMT Sestrodiprojo.

KMT Sestrodiprojo pun menyebutkan, lomba Jemparingan Mataraman yang digelar dalam rangka Hadeging Kadipaten Pakualaman ke-212 ini sendiri diikuti oleh sebanyak 880 peserta yang terdiri dari berbagai kalangan usia, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Selain dari lokal DIY, para peserta berasal dari Jawa, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

“Memang yang pertama, untuk ikut lomba jemparingan ini adalah yang punya KTP. Artinya dewasa. Seandainya ada anak yang lebih muda atau remaja mau ikut, kita anggap dewasa. Tidak pakai KTP, tidak apa-apa. Kita anggap sudah dewasa. Diperkenankan,” terang KMT Sestrodiprojo.

Saat ditemui di sela perlombaan, Hani salah satu peserta lomba Jemparingan Mataraman berusia 15 tahun asal Surabaya mengungkapkan, ia telah menekuni olahraga ini sejak tahun 2022. “Awalnya diajak. Terus lama-lama karena busurnya kalau dirancang itu keren jadi tertarik main terus. Ingin punya busur yang keren-keren,” ungkap Hani.

Sementara itu, Aksa seorang peserta berumur 10 tahun asal Sleman mengaku tertarik untuk mengikuti jemparingan karena keseruan yang dirasakan saat melakukan olahraga ini. “Aku suka jemparingan karena seru. Awalnya tak kirain susah, ternyata gampang. Sudah pernah ikut lomba 3 kali tapi belum pernah juara,” tutur Aksa. (Han/Fn/Yci/Jon/Wa/Sd/Cbs/Ip/Er/Rcd)

Humas Pemda DIY

Bagaimana kualitas berita ini: