29 Okt 2022
  Humas DIY Berita,

Pembukaan Pameran SUMAKALA, Dasawarsa Temaram Yogyakarta

Yogyakarta (28/10/2022) jogjaprov.go.id - Masa-masa pasca Geger Sepehi menjadi periode perjuangan bagi Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono III bukan sekadar pewaris takhta yang sah, tetapi juga penerus perjuangan dari Sri Sultan Hamengku Buwono II. Meski bukan perlawanan fisik, Raden Mas Surojo, sebagai Sultan ketiga gencar melakukan berbagai negosiasi. Di dalam Babad Ngayogyakarta disebutkan bahwa masa kepemimpinannya membawa ketentraman bagi Yogyakarta.

Hal tersebut diungkapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X saat membuka pameran SUMAKALA, Dasawarsa Temaram Yogyakarta. Bertempat di Bangsal Sri Manganti, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, Jumat malam (28/10). Pameran ini merupakan kali ketiga yang diselenggarakan sejak tahun 2019. Pameran dibuka dengan gelaran wayang wong lakon Rama Nitik. Turut hadir dalam pembukaan pameran GKR Bendara dan GKR Maduretno.

Pameran SUMAKALA menyajikan kisah kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono III dan Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Penarasian kedua Sultan dalam satu waktu pameran didasarkan pada pendeknya periode pemerintahan. Sultan ketiga hanya bertakhta selama 29 bulan (1812-1814), sedangkan Sultan keempat bertakhta selama 8 tahun (1814-1822). Kedua Sultan praktis memenuhi 10 tahun masa pemerintahan di Yogyakarta. Dalam berbagai sumber sejarah, tahun-tahun tersebut dimaknai sebagai masa berbenah pasca perang Geger Sepehi.

“Sri Sultan Hamengku Buwono III hanya bertakhta selama dua tahun, sementara Sri Sultan Hamengku Buwono IV bertahta selama 8 tahun. Akumulasi dari periode pemerintahan kedua Sultan tepat satu dasawarsa. Tahun tersebut menjadi tahun berbenah bagi Yogyakarta. Tidak hanya pada sektor pembangunan fisik pasca perang tetapi juga pada sosial dan budaya,” ungkap GKR Bendara selaku penanggung jawab pameran.

Kondisi yang tidak stabil hingga pasang surut situasi politik menjadi persoalan yang dihadapi selama kurun waktu tersebut. Di sisi lain, pasca peristiwa Geger Sepehi, peninggalan budaya material dari kedua Sultan pun begitu minim. Bahkan dalam konteks pembangunan kebudayaan, Sultan pada periode tersebut cenderung berkonsentrasi pada pembangunan mental daripada pembangunan fisik.

“Jadi, di era Hamengku Buwono III memang sedikit sekali artefak yang menggambarkan masa kepemimpinan beliau. Hingga (dalam pameran) banyak sekali penggambaran-penggambaran visualisasi yang dihasilkan dari manuskrip yang ada perihal masa jabatan beliau-beliau," ungkap GKR Bendara.

Upaya visualisasi arsip merupakan salah satu kerja historis dalam penyusunan pameran kali ini. Karena berbagai arsip yang tersimpan di Inggris, Belanda, maupun arsip yang berada di keraton harus disandingkan. Pembacaan antar arsip kemudian diejawantahkan dalam bentuk visual. Harapannya, para pengunjung mampu merekam memori yang pernah terjadi di Yogyakarta, lebih dari 200 tahun yang lalu.

“Yang belum pernah kita hadirkan adalah pohon hayat Hamengku Buwono III dan IV. Juga ada lukisan Raden Saleh. Kalau diperhatikan adalah pakaian-pakaian penari yang baru. Memang kainnya lama tapi belum pernah dipajang sembilan penari sekaligus,” terang GKR Bendara.

Pada pameran kali ini, berbagai aktivitas pendukung digelar seperti tur bersama kurator, napak tilas peristiwa Geger Sepehi, lokakarya dan lomba pembuatan sengkalan, hingga aktivasi sekolah sekar macapat, sekolah karawitan, dan sekolah pedalangan Habirandha. Agenda-agenda tersebut dapat diikuti masyarakat umum dengan sistem reservasi.

GKR Bendara menargetkan pameran bisa menjadi sarana bagi Keraton Yogyakarta untuk membaca ulang pemerintahan Sultan-sultan sebelumnya. Agar berbagai pengalaman sejarah serta pembelajaran dari pemerintahan Sultan terdahulu dapat dipetik dan diterapkan pada kondisi sekarang. Pameran ini pun menjadi ruang bersama untuk membaca segala kemungkinan sejarah yang memiliki relasi kuasa terhadap kedua Sultan. (Wd/Hr/Fh)

 

Humas Pemda DIY

 

Bagaimana kualitas berita ini: