24 Jul 2022
  Humas DIY Berita, Agenda Kegiatan,

Rajut Toleransi dan Kemanusiaan Tanpa Ikatan Jarak dan Agama

Yogyakarta (24/07/2022) jogjaprov.go.id - Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan bahwa sejatinya persaudaraan yang berada dalam bingkai kemanusiaan tidak terikat jarak dan agama.

Pesan tersebut disampaikan Sri Sultan saat jamuan makan malam bersama Institut Leimena dan perwakilan komunitas agama dari Amerika, Minggu (24/07) malam di Bangsal Kepatihan, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta.

Hadir pada kesempatan tersebut Senior Fellow Leimena Alwi Shihab, Direktur Eksekutif Leimena Martin Ho, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Amin Abdullah, perwakilan komunitas agama Amerika David Rosen, serta beberapa Kepala OPD DIY. 

Pemilihan lokasi jamuan makan malam menurut Sri Sultan juga sarat akan pesan ke-Indonesiaan yang penuh toleransi. Di masa silam, Kompleks Kepatihan adalah kantor Pepatih Dalem dan tempat tinggal keluarga beserta para kerabatnya.

"Kompleks bangunan gedung ini memang sejak dulu diperuntukkan sebagai tempat pelayanan masyarakat dalam bingkai manunggalnya para pamong praja dan masyarakatnya. Oleh sebab itu, malam ini menjadi lebih bermakna, karena dapat bertatap muka bersama Anda sekalian, seraya mengenalkan warisan budaya Yogyakarta," jelas Ngarsa Dalem.

Pada audiensi Institut Leimena dua hari sebelumnya, Sri Sultan juga menyebut bahwa toleransi beragama di DIY dapat dilihat pada keberadaan Sumbu Filosofi. Landmark yang diciptakan Sri Sultan Hamengku Buwono I itu dipercaya sebagai wujud keseimbangan hidup.

“Saya tidak boleh membedakan satu dengan yang lain. Apapun agamanya, sukunya, budayanya, jika sudah masuk DIY ya jadi warga kami. Diperlakukan sama bukan karena dasar agama tapi manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia terlepas apa yang dianutnya. Itu adalah janji spiritual yang harus dilakukan seorang Sultan,” jelas Sri Sultan, Jumat (22/07).

Tambah Sri Sultan, setiap orang harus memahami bahwa tidak ada satu agama pun yang mengajarkan kebencian, kejahatan, menyakiti, dan saling melukai. Semua agama mengajarkan kebaikan, kasih sayang, dan toleransi.

Sri Sultan berharap agar nilai-nilai yang ada di Yogyakarta senantiasa dapat menjadi inspirasi, dalam kolaborasi mengembangkan peradaban Indonesia, sekaligus mencapai peradaban dunia, dengan menjunjung tinggi harkat-martabat kemanusiaan sebagai value utama.

Sementara David Rosen menyampaikan bahwa pihaknya bersama Leimena Institut akan terus berupaya menebarkan kedamaian tanpa memandang suku dan agama di seluruh dunia.

"Kami ucapkan terima kasih atas waktu dan kesempatan yang diberikan Sri Sultan, juga atas sambutan dan keramahtamahan yang diberikan kepada kami," ujarnya.

Pada kesempatan ini, secara khusus ditampilkan dua tarian Keraton Yogyakarta yakni dan Beksan Bedhaya Sang Amurwabhumi dan Beksan Klana Topeng Sembung Langu.


Bedhaya Sang Amurwabhumi, Karya Pertama Sri Sultan HB X Setelah Penobatan

Bedhaya Sang Amurwabhumi merupakan salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang merupakan Yasan Dalem (karya) pertama Sri Sultan Hamengku Buwono X setelah dinobatkan sebagai Raja Kasultanan Yogyakarta pada 7 Maret 1989. Tarian ini merupakan legitimasi Sri Sultan Hamengku Buwono X kepada almarhum ayahanda Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Tarian ini mempunyai konsep filosofis, yakni setia kepada janji, berwatak tabah, kokoh, toleran, selalu berbuat baik dan sosial dimana KRT Sasmintadipura bertindak sebagai koreografer tarinya. Dasar cerita tarian ini diambil dari Serat Pararaton atau Kitab Para Ratu Tumapel dan Majapahit, yang selesai ditulis bertepatan dengan hari Sabtu Pahing.

Bedhaya Sang Amurwabhumi dipentaskan pertama kali di Bangsal Kencana Keraton Yogyakarta saat pengangkatan dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX tahun 1990. 

Sejatinya, tarian yang ditarikan sembilan penari ini berdurasi 2,5 jam. Iringannya berupa irama dramatik yang menggambarkan kelembutan sebagai simbolisasi yang paling hakiki. Seperti halnya seorang raja yang mempunyai ekspresi dalam setiap pengabdian dengan mencoba menggalang kepemimpinan melalui pola pikir untuk mengayomi dan menyejahterakan rakyat. 

Selain Bedhaya Amurwabhumi, pada jamuan makan malam ini juga dipentaskan Klana Topeng Sembung Langu. Tarian ini merupakan tarian gagah gaya Yogyakarta yang berjenis tari duet. Jalan ceritanya mengisahkan Klana Sewandono yang kasmaran dengan Dewi Sekartaji, hingga selalu ditunggui oleh abdi setia bernama Sembung Langu.

Gerak dan isi dinamika Klana Sewandono menggambarkan sosok gagah berkharisma tinggi, sehingga geraknya patah-patah jelas dan menawan. Sementara karakteristik Sembung Langu cenderung jenaka. Ia selalu mengikuti gerak-gerik Klana Sewandono namun tak berhasil karena tak pernah olah kebatinan dan bersolek. Sehingga gerak tarian yang muncul darinya cenderung cerminan gerakan dalam kehidupan sehari-hari. [Vin/hy/jh]

Humas DIY

Bagaimana kualitas berita ini: