09 Nov 2023
  Humas DIY Berita,

Raperda Hari Jadi DIY Terus di Godok, Muat Sejarah Panjang Yogyakarta

Yogyakarta (09/11/2023) jogjaprov.go.id - Instrumen hukum pada penetapan Hari Jadi DIY telah dikuatkan dengan pengajuan Raperda pada forum Paripurna DPRD. Perda ini dipilih dengan pertimbangan bahwa hari jadi merupakan bagian dari sejarah panjang DIY sebagaimana secara mendalam telah diuraikan dalam naskah akademik.

Hal demikian disampaikan Wagub DIY KGPAA Paku Alam X ketika memberikan jawaban pemandangan umum terhadap Raperda Hari Jadi DIY oleh DPRD DIY fraksi Nasdem, PSI dan Partai Demokrat. Jawaban ini disampaikan pada Kamis (09/11) pada Rapat Paripurna di Gedung  DPRD DIY, Yogyakarta.

Terhadap pemandangan umum Fraksi PDIP, Wagub DIY menyampaikan, penyusunan naskah akademik dan draft Raperda ini, merupakan penyempurnaan atas naskah akademik dan draft Raperda yang disusun pada tahun 2016 silam. Pada tahun 2015, telah disusun Kajian Hari Jadi DIY. Kajian dilakukan pada 29 Desember 2015, di Kepatihan yang dihadiri oleh Perangkat Daerah, pakar sejarah, akademisi, tokoh masyarakat, perwakilan perangkat desa/kalurahan, dan media massa. Dalam forum tersebut, secara eksplisit mendukung tanggal 13 Maret 1755 yang bertepatan dengan peristiwa Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat ditetapkan sebagai Hari Jadi DIY.

“Dalam Pasal 6 Raperda diatur mengenai pelaksanaan peringatan hari jadi bisa dilaksanakan oleh seluruh elemen di DIY. Pelaksanaannya dilakukan dengan upacara, penggunaan pakaian tradisional Jawa Yogyakarta, dan penggunaan bahasa Jawa. Juga, dilaksanakan dengan kegiatan lain bertema budaya,” tutur Sri Paduka.

Sementara terhadap pemandangan umum Fraksi PKS, Sri Paduka mengatakan, Peristiwa Hadeging Nagari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini secara de jure sudah memenuhi unsur- unsur yang disyaratkan untuk menjadi sebuah negara yang berbentuk Kasultanan. Unsur tersebut yaitu adanya pemimpin, rakyat, wilayah, dan pemerintahan. Sultan Hamengku Buwono I mengumumkan Ayodhya sebagai nama resmi negaranya. Selanjutnya, Sri Sultan I membentuk pemerintahan resmi dengan menunjuk pejabat pemerintahan Kasultanan.

Perubahan bentuk Yogyakarta terjadi sejak tanggal 13 Maret 1755. Perubahan ditandai dengan Peristiwa Hadeging Nagari, Yogyakarta diproklamasikan menjadi sebuah Nagari dengan bentuk pemerintahan sebagai Kasultanan (kerajaan), dengan kedudukan sebagai daerah independen.

Pada masa Kasultanan Kasunanan pemerintahan Hindia Belanda, Yogyakarta dan Surakarta bersama secara dengan administratif berstatus sebagai Vorstenlanden.  Vorstenlanden adalah daerah khusus yang memiliki otonom karena diperintah oleh raja, dengan kedudukan sebagai zelfbesturende landschappen (daerah swapraja/daerah otonom/daerah istimewa).

“Sejak saat itu bentuk administratif Yogyakarta adalah sebuah Karesidenan. Menurut Regerings Reglement Tahun 1854, Yogyakarta termasuk daerah yang diperintah dengan indirect gebied yaitu daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh Gubernur Jenderal,” jelas Sri Sultan.

Pada masa pendudukan Jepang, tepatnya sejak tanggal 1 Agustus 1942, bentuk pemerintahan administratif Yogyakarta berubah menjadi Kooti (daerah istimewa) dan Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi Koo (kepala daerah istimewa). Untuk mengawasinya pemerintah Jepang menempatkan seorang Kooti Zimu Kyoku Tyookan (Kepala Kantor urusan Kasultanan).

Pasca Kemerdekaan RI, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan Amanat 5 September 1945 yang menyatakan bahwa  Kasultanan dan Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia. Kemudian menurut UU Nomor 3 Tahun 1950, dengan jelas disebutkan bahwa Yogyakarta adalah  sebuah daerah istimewa setingkat provinsi.

“Dalam naskah akademik yang disarikan dari berbagai sumber sejarah yang ada, banyak sekali hal-hal baik yang ditunjukkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Spirit perjuangan, amal shaleh, kebajikan, ketaatan ibadah, dan nilai-nilai spiritual lain yang ditunjukkan oleh beliau harus menjadi contoh bagi kita semua sebagai generasi penerus estafet kepemimpinan di berbagai level dan bidang. Bukan saja oleh pejabat di Pemerintahan, namun bagi kita semua,” papar Sri Paduka.

Sri Paduka juga menanggapi masukan dari Fraksi PAN agar definisi Rapat Paripurna Istimewa disesuaikan dengan Tata Tertib DPRD, juga adanya ketentuan pendanaan. Pemda DIY akan menindaklanjuti secara teknis dalam forum Pansus mendatang.

Terhadap Fraksi PKB Sri Paduka menyampaikan, usulan lembaga pendidikan di DIY juga menjadi pelaksana peringatan hari jadi agar nilai-nilai yang ada dapat terinternalisasi kepada kelompok pelajar di DIY. Dalam Pasal 6 ayat (1) Raperda menyebutkan, peringatan hari jadi dilaksanakan oleh instansi pemerintah di DIY, swasta, dan masyarakat. Lembaga pendidikan dapat berupa lembaga yang dimiliki oleh Pemerintah baik di bawah koordinasi Kementerian, Pemerintah Daerah/Kabupaten/Kota, maupun lembaga swasta yang dikelola oleh yayasan.

“Menurut kami lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah terakomodir dalam Pasal 6 ayat (1), namun apabila masih diperlukan penajaman materi, maka dapat ditambahkan dalam penjelasan pasal siapa saja yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tersebut, dengan menyebutkan salah satunya adalah lembaga pendidikan,” tutup Sri Paduka. (uk/han/ts)

Humas Pemda DIY

 

 

Bagaimana kualitas berita ini: