31 Mar 2019

Moderasi Islam Bisa Jadi Solusi Dekadensi Moral

Yogyakarta (31/03/2019) jogjaprov.go.id - Munculnya isu intoleransi dan radikalisme mengakibatkan tantangan terhadap moderasi Islam semakin meningkat. Perkembangan teknologi yang terus melambung tinggi juga telah mengubah gaya hidup masyarakat.

"Hal ini memunculkan kekhawatiran atas munculnya gangguan terhadap Islam Wasathiyyah atau Islam Moderat. Di sisi lain, patologi sosial juga terus meningkat setiap saat. Patologi ini justru berbalik dengan istilah Api Islam Bung Karno, dibmana Al-Qur’an dapat menjadi acuan dan rujukan utama dalam bersosial dan bermasyarakat," ungkap Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta pada Minggu (31/03).

Membacakan sambutan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam acara Pidato Kebangsaan bertema 'Menjaga Moderasi Beragama Mengokohkan Bangsa', Sri Paduka mengatakan, patologi sosial di masyarakat karena dekadensi moral yang telah mewabah di dalam masyarakat ataupun oknum tertentu. Padahal jelas di dalam Al-Qur’an yang tiada keraguan, sudah semestinya dijadikan pedoman hidup seorang muslim dalam mengarungi samudera kehidupan yang serba komplek dan beragam.

"Bagi Bung Karno, Islam adalah agama yang mendorong kemajuan bagi umat manusia dan semua bangsa di dunia. Namun sayangnya kita hanya menggunakan abunya Islam seperti soal kerudung, jenggot, dan sebagainya. Dalam konteks hari ini, moderasi Islam diharapkan menjadi penengah untuk mengendalikan keadaan yang kondusif," papar Sri Paduka.

Diungkapkan Sri Paduka, moderasi Islam datang sebagai nilai-nilai universal seperti keadilan, kemaslahatan, persamaan, kerahmatan, dan keseimbangan yang memiliki akar sejarah yang kuat, mulai dari Rasulullah serta para sahabatnya. Moderasi adalah jalan pertengahan, yang sesuai dengan inti ajaran Islam dan juga fitrah manusia.

"Karena itu, umat Islam disebut dengan Ummatan Washathan yang berarti umat pertengahan. Umat yang serasi dan seimbang, yang mampu memadukan antara dua kutub agama terdahulu. Jika kita ingin maju, termasuk dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa, kita harus menyalakan api Islam. Api Islam bisa menggelorakan semangat untuk merdeka, menyejajarkan bangsa Indonesia tegak dihadapan bangsa-bangsa lain, dan membangun toleransi yang berkeadaban," kata Sri Paduka.

Sri Paduka menambahkan, menyongsong tahun politik 2019, dirinya mengapresiasi upaya Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam dan Gerakan Suluh Kebangsaan yang menyelenggarakan dialog ini untuk menguatkan kembali paham ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.

Menurutnya, hal ini penting karena memang Indonesia mempunyai kekayaan akan keberagaman budaya, agama, dan bahasa. "Indonesia mempunyai Pancasila, ideologi yang terkandung spirit memberikan arah dan tujuan ke mana negara Indonesia bergerak," imbuh Sri Paduka.

Sementara itu, Ketua Panitia Wahyu Rezky mengatakan, belakangan ini ada kekhawatiran atas munculnya gangguan terhadap Islam Moderat. Hal ini ditandai dengan munculnya isu intoleransi dan radikalisme. Kondisi ini juga dirasakan dan menjadi pemikiran bersama warga Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam.

"Acara ini terselenggara karena kekhawatiran kami juga. Apalagi saat ini sudah menjelang pesta demokrasi besar-besaran di Indonesia. Karena itu, kami lantas menggagas acara ini sebagau upaya penguatan kembali atas paham ke-Islaman dan ke-Indonesiaan," ujarnya.

Wahyu juga menuturkan, sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam juga punya tugas dan kewajiban untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. "Teman-teman, kita juga punya andil besar pada Indonesia masa depan. Karena itu, mari berjuang, berbuat bagi Indonesia. Yogyakarta juga miniatur Indonesia, kita juga jadi promotor Yogyakarta sebagai kota yang aman, kota budaya dan kota toleransi," ungkapnya.

Acara ini diisi pula dengan dialog kebudayaan yang menghadirkan narasumber Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A., Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag., Drs. Suwarsono Mohammad, M.A., dan Dr. Senawi, M.P. (Rt)

HUMAS DIY

Bagaimana kualitas berita ini: