16 Feb 2013
  Humas Berita,

Dialog Keagamaan Hendaknya Diarahkan Untuk Mencapai Toleransi Beragama

 

YOGYAKARTA (16/02/2013) Timbulnya berbagai gesekan-gesekan sosial yang menimbulkan riak-riak kecil menyimpan potensi eksklusif, gejalanya telah terjadi pada tahun 50-an, yaitu gesekan antara asrama dan antar penghuni asrama dengan penghuni setempat Namun gagasan dan praktek hidup masyarakat yang multi kultural di Yogyakarta, yang diwariskan para pendahulu tidak mengalami kemunduran.

 

 

Oleh karena itu swargi Sri Sultan Hamengku Buwono IX, waktu itu mengambil kebijakan menyatukan asrama dalam asrama Dharma Putra di kawasan Baciro, dan asrama Ratnaningsih di kawasan Sagan, kata Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, saat menjadi salah satu nara sumber dalam Sarasehan Kebangsaan dengan topik Membangun Yogya Sebagai Rumah Bersama, Makna UU Keistimewaan Bagi Kebersamaan dan Keberagaman, di Gereja Kristen Indonesia, Gejayan, Yogyakarta, Jumat (15/02) malam.

 

 

Sultan mengutarakan, secara umum inti ajaran setiap agama mengandung nilai-nilai substansial dengan corak yang universal. Tetapi dapat dimengerti jika antar agama juga memiliki perbedaan-perbedaan dogmatis. Oleh karena itu dialog keagamaan dalam negara dan bangsa, hendaknya diarahkan sebagai pengakuan arti pentingnya agama dan kewajiban memeluk agama, serta menjalankan ritual keagamaan bagi setiap individu.

 

 

Dialog keagamaan, tambah Sultan, hendaknya juga diarahkan untuk mencapai saling pengertian dan toleransi beragama dalam menjalankan praktek keagamaan. Karena apabila saling mengerti, pengertian dan toleransi tersebut telah hidup di kalbu masyarakat, maka agama dapat berperan secara konkrit untuk membina persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

 

 

Esensi dari pengertian itu katanya, adalah tumbuhnya kerukunan hidup beragama dan kerukunan-kerukunan antar umat beragama. Dalam kaitan itu maka pendalaman dan penghayatan terhadap ajaran agama-agama perlu terus dikembangkan oleh umatnya. Dengan demikian dapat memperluas cakrawala pengawasan, lebih arif dalam melihat perbedaan-perbedaan, serta dapat menempatkan keberadaan umat beragama dalam konteks pluralisme masyarakat dan pluralisme agama-agama yang hidup di Indonesia.

 

 

Dalam kerangka itulah hendaknya kita sambut baik dialog antar agama dalam percaturan keagamaan di Indonesia sekarang ini, ujar Sultan.

 

 

Dengan memahami kendalaman struktural dan kultural bangsa Indonesia, dialog antar agama hendaknya dilakukan dengan teramat hati-hati. Interaksi itu mungkin suatu saat membutuhkan dialog antar agama-agama dengan masyarakat yang justru lebih mengandung potensi kerawanan. Disini amat diperlukan derajat kearifan yang tinggi dengan menyadari bahwa syarat theologis haruslah bersifat dua arah dalam suasana keterbukaan.

 

 

Justru disinilah yang memerlukan kesiapan yang mendalam sebelum kita melangkah. Karena jikalau tidak, maksud yang baik inipun akan bisa berakibat sebaliknya, tutur Sultan.

 

 

Sementara Dosen di salah satu perguruan tinggi Yogykarta, Juli Codir, mengemukakan, Yogyakarta adalah rumah semua golongan dan rumah bersama. Satu-satunya pilar kekuatan Indonesia hanya tinggal Yogyakarta. Maka Yogyakarta jangan sampai mentolelir tiga hal, yaitu korupsi, narkoba dan terorisme.(rsd)

 

 

 

HUMAS

 

Bagaimana kualitas berita ini: