17 Jul 2023
  Humas DIY Berita,

DMB Strategi DIY Wujudkan Kesejahteraan Warga

Yogyakarta (17/07/2023) jogjaprov.go.id – Keistimewaan DIY diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan, seperti tercukupinya kebutuhan sandang, papan, pangan serta pendidikan sebagai wujud kesejahteraan warga. Salah satu strateginya adalah melalui konsep Desa/Kalurahan Mandiri Budaya (DMB).

Demikian disampaikan Kepala Biro Administrasi Perekonomian dan SDA (APSDA) Setda DIY Yuna Pancawati dalam Rapat Kerja Penyelenggaraan Kebijakan Desa/Kalurahan Mandiri Budaya yang digelar di Ruang Antares, Lantai 3, Hotel Royal Darmo Malioboro Yogyakarta. Diikuti oleh perangkat daerah lingkup Pemda DIY dan OPD Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Desa/Kalurahan yang ditetapkan sebagai Desa/Kalurahan Mandiri Budaya Tahun 2020, Tahun 2021, Tahun 2022, Tahun 2023, dan akademisi dari perguruan tinggi, rapat kerja tersebut diselenggarakan berfokus pada aspek ‘Capacity Building Pengelolaan Desa/Kalurahan Mandiri Budaya’.

“DIY sudah merintis entitas desa tangguh dan berdikari dengan konsep mandiri dan berbudaya. Hal ini merupakan embrional aktivasi sekaligus masterpiece yang kelak dapat dijadikan acuan dalam rnembangun desa, sesuai dengan potensi dan kearifan lokal masing-masing,” ungkap Yuna pada Senin (17/07).

Yuna menyampaikan, visi Desa/Kalurahan Mandiri Budaya sendiri yaitu sebagai desa/kalurahan mahardika, berdaulat, berintegritas, dan inovatif dalam menghidupi dan mengaktualisasikan nilai-nilai keistimewaan, melalui pendayagunaan segenap kekayaan, sumber daya dan kebudayaan yang dimilikinya. Dalam hal ini yakni dengan melibatkan partisipasi aktif warga dalam pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan kelestarian semesta ciptaan, kesejahteraan, dan ketenteraman warga dalam ke-bhineka tunggal ikaan.

Sesuai arahan Gubernur DIY, Yuna memaparkan, untuk mencapai tujuan DMB, ada 8 hal yang perlu menjadi catatan. Delapan hal tersebut diantaranya yaitu menemukan potensi kalurahan atau modal yang dapat digunakan untuk pembangunan kalurahan; saling silang lintas OPD untuk mendukung output besar DMB; pelaksanaan program kegiatan 4 pilar merupakan satu kesatuan utuh; evaluasi pelaksanaan DMB dan re-focus program kegiatan DMB; dan sinkronisasi kebijakan top down dan bottom up. Selain itu, juga memerhatikan keluaran yang dihasilkan memiliki daya ungkit yang besar terhadap perekonomian kalurahan; peningkatan sistem pemantauan dan evaluasi yang efektif dan efisien terkait kinerja DMB, termasuk hasil kerja (outcome) dari penggunaan dana BKK; serta peningkatan tata kelola kelembagaan, program DMB.

Diungkapkan Yuna, Pemerintah Daerah DIY terus berupaya mendorong tumbuhnya Desa/Kalurahan Mandiri Budaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketenteraman warga masyarakat DIY. Harapannya, dengan kemunculan Desa/Kalurahan Mandiri Budaya ini, masyarakat bisa secara otonom mengembangkan potensi dan kekayaan desanya untuk mencapai dan mewujudkan kesejahteraan warga.

“Pertumbuhan ekonomi masyarakat desa berada di tangan masyarakat, sehingga masyarakat harus berperan dalam mewujudkan desa yang mandiri dan berbudaya serta berdaya guna sehingga mampu menghidupi masyarakatnya tanpa merasa berat. Kesadaran untuk menumbuhkan ekonomi inilah yang harus dipupuk oleh masyarakat,” ujar Yuna.

Lebih lanjut, Yuna menambahkan, kehadiran pemerintah, baik melalui program maupun dana keistimewaan, selama ini merupakan fase stimulus bagi masyarakat untuk mengenal potensi dan berkembang sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. Diharapkan, melalui atribusi keistimewaan yang dimiliki DIY, terutama keistimewaan dalam urusan kelembagaan yang diantaranya dimanifestasikan dengan kelembagaan asli pemerintahan hingga level pemerintah kalurahan, dapat menjadi peluang, window opportunity, bahkan dapat menjadikan desa sebagai garda depan pembangunan di DIY.

Adapun dalam pemanfaatan dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK) DMB, terdapat 4 hal yang harus dicapai. Dimana bagaimana dana BKK yang diberikan harus dapat mengurangi kemiskinan, mengatasi pengangguran, meningkatkan pemberdayaan masyarakat setempat, dan meningkatkan iklim investasi daerah.

Pada kesempatan yang sama, Paniradya Pati Kaistimewan DIY Aris Eko Nugroho dalam paparannya mengenai ‘Kebijakan Pengelolaan Desa/Kalurahan Mandiri Budaya Sebagai Program dan Kegiatan Strategis Keistimewaan’ menyampaikan, program DMB yang di danai melalui dana keistimewaan ini, menjadi salah satu upaya dan program unggulan Gubernur DIY saat ini, terkait pemberdayaan potensi masyarakat dan kalurahan. DMB ini terdiri dari 4 pilar antara lain yaitu Desa Budaya, Desa Wisata, Desa Preneur, dan Desa Prima.

“Guna mewujudkan Desa Mandiri Budaya, diperlukan kemandirian dan inovasi desa yang mampu mengelola kewenangan dan hak atas asal-usulnya, yang mampu memberikan pemberkuasaan pada warga desa. Bahwa untuk mewujudkan kemandirian desa, diperlukan reformasi politik dan pemerintahan, penguatan basis produksi di desa dan jejaring pasar desa dan pengembangan data desa berbasis geospasial,” tutur Aris.

Dari sisi kebudayaan, DMB diharapkan mampu menerapkan upaya pelestarian, mencakup perlindungan, pengembangan, dan pemanfataan akan kekayaan dan keberagaman budaya dilingkup desa/kalurahan. Hal tersebut untuk mengukuhkan jati diri ke Jogjakartaan sebagai bagian integral dari budaya nasional.

Aris menyebutkan, program ideal yang direncanakan untuk DMB, harus disusun dengan beberapa pertimbangan. Dimana program DMB, harus disusun dengan mengidentifikasi dan memaksimalkan potensi lokal; fokus, jelas, dan terkonsep arah dan tujuannya (master plan); prospektif dan berkelanjutan (terlihat hasil kemanfaataannya); pemberdayaan/pelibatan masyarakat lokal; dan penyebarluasan informasi yang keren dan up to date/dinamis (menjangkau seluruh lapisan masyarakat).

Sementara itu, Dr. Destha Titi Raharjana, S.Sos., M.Si. dari Pusat Studi Pariwisata UGM mengungkapkan, kunci dalam penguatan kapasitas pengelolaan Desa/Kalurahan Mandiri Budaya adalah manajerial. Dimana dukungan dari pemerintah akan menjadi sia-sia apabila tidak adanya tata kelola yang bijak dan transparan dalam pengelolaan DMB.

Dalam pendayagunaan segenap kekayaan sumber daya dan kebudayaan di desa, Destha menekankan, ruh desa di Yogyakarta sendiri ialah kebudayaan. Terdapat nilai-nilai, local wisdom pada desa, yang bisa menjadi daya tarik dan berpotensi untuk pengembangan industri pariwisata dan ekonomi kreatif.

“Pariwisata kita corenya adalah di kebudayaan. Jadi jangan mengubah desa kita menjadi ke kota-kotaan dengan dana desa dengan ada Danais, malah disulap desa kita, jauh dari aslinya. Keunikan di desa kita adalah berbeda-beda. Ini yang menjadi tantangan kita, bagaimana anak-anak muda karang taruna dan Pokdarwis misalnya di kelurahan panjenengan bisa kita dorong untuk memetakan, mengidentifikasi, potensi yang bisa diolah menjadi atraksi. Jadi Desa Mandiri Budaya tidak harus punya gunung, tidak harus punya sungai, tidak harus punya embung, tapi sekali lagi adalah kehidupan, living culture masyarakat itu sendiri,” terang Destha.

Dikatakan Destha, keterlibatan masyarakat pun penting dalam proses perencanaan. Sehingga, masyarakat harus ditempatkan sebagai subjek dan local champion di desanya, bukan lagi sebagai objek. Pendekatan partisipatif dalam pengembangan dan pemberdayaan ekonomi, sosial, dan budaya ini dapat dilakukan dengan menerapkan konsep CBT (Community Based Tourism). Dimana, tidak hanya proses perencanaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal, pengambilan keputusan, dan pengelolaan DMB sebisa mungkin juga dilakukan oleh masyarakat lokal.

Praktisi/Penggiat Desa Wisata Nglanggeran Sugeng Handoko, ST. dalam paparannya terkait ‘Optimalisasi Strategi Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Desa Wisata Nglanggeran’ menyampaikan, modal sosial budaya dalam pengembangan pariwisata di Desa Wisata Nglanggeran meliputi budaya gotong royong dan guyub rukun yang kuat; dilandasi dari kegiatan sosial kepemudaan; berangkat dari permasalahan bersama; dan kolaborasi lintas generasi. Manajemen yang diterapkan dalam pengelolaan Desa Wisata Nglanggeran ini yakni dengan mengembangkan konsep CBT, menerapkan manajemen satu pintu, pengembangan kewirausahaan sosial, serta transparan dan optimalisasi teknologi.

Terkait strategi inovasi pengembangan Desa Wisata Nglanggeran, Sugeng menjelaskan, pihaknya memiliki komitmen untuk memiliki inovasi di Nglanggeran setiap dua tahun atau maksimal 3 tahun sekali. Selain itu, juga mengikuti kompetisi untuk pengembangan diri dan membangun reputasi; berjejaring dan silaturahmi, serta kolaborasi untuk bekerja sama.

“Prinsipnya adalah ketika kita mengembangkan sesuatu, itu harus dilakukan dengan banyak melakukan komunikasi dengan masyarakat. Biasanya orang itu akan setuju atau mendukung kita ketika kita bisa melakukan komunikasi yang lebih baik dan bermitra itu menjadi salah satu kunci,” ucap Sugeng. (Han/Ip)

Humas Pemda DIY

Bagaimana kualitas berita ini: