19 Mar 2012
  Humas Berita,

Laku Budaya Taruparwa Ditandai Tanam Pohon Dan Orasai Budaya Oleh Sultan HB X

Laku Budaya Taruparwa Ditandai Tanam Pohon Dan Orasai Budaya Oleh Sultan HB X

Sultan: Ketidaselarasan perkembangan budaya local bisa berpotensi melahirkan konflikdalam berbagai bentuk.


Yogyakarta, (17/03/2012) pemda-diy.go.id. Gerakan menanam Sejuta untukIndonesia, yang penangananya tidak Cuma dipatuhi secara setruktural oleh para Gubernur,Bupati,Walikota,Camat atau Lurah, namun ini juga harus dipatuhi secara social, yakni oleh segala lapisan masyarakat.Karena, Indonesia membutuihkan tidak Cuma sejuta pohon, melainkan berjuta-juta pohon. Oleh karena itu marilah kita hijauakan kembali Indonesia ini, kalau tak hendak negeri ini berubah jadi gurun.

 

Ajakan danharapandemikian disampaikan Sri Sultan Hamengku BuwonoX dalam Orasi Budayanya padaPuncak Laku Budaya Taruparwa yang bertemakan Tepung banyu Sedulur,Nandur Wiji Karahayon kerjasama anatara Yayasan Go Green dengan Forum Komunikasi Umat Beragama(FKUB) Daerah Istimewa Yogyakarta Sabtu pagi kemarin(17/03) diBanyumili Country Club, Kwarasan,Nogotirto,Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menurut Sri Sultan HB X bahwa Laku Budaya yang diwujudkan dengan kegiatan tanam pohon sebagai symbol kerukunan, karena pohon adalah sumber kehidupan dan penuh kedamaian. Lebih dari sekedar menanam sebagai gerakan penghijauan, tandas Sultan laku Budaya ini juga bermakna menanam hati, agar kerukunan tertanam di hati setiap insan sebagai sesame makhluk Tuhan Seru Sekalian Alam.

Sehubungan dengan hal tersebut lanjut Sultan HB X Tujuh jenis pohon yang ditanam ini tidak sekedar vegetasi penghijauan lingkungan,tetapi juga memiliki makna filosofis, lebih jauh lagi, menjadi harapan sekaligus doabagipenanam dan lingkungannya yang ditumbuhinya. Secara simbolik7 jenis pohontersebut adalah , Beringin,Keben,Kepel,Asem,Tanjung, Sawo Kecik dan Kantil.

Lebih jauh Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam orasinya menjelaskan bahwa Ringin atau beringinselain menyerap karbondioksida (CO2) dan sebagai produsen oksigen(O2), karena tajuk beringin berbentukbush akan menyaring udara lebih cepat dan lebih banyak, sehingga merupakan pembersih udara yang lebih efektif dari pohon yang bertajuk conus.Maknanya, beringin lanjut Raja Kraton ituadalahpengayom, sekaligus pengayem bagi masyarakat.

Keben dalam mitologi Jawa pohon ini memiliki makna yang sangat tinggi sebagai lambing eksistensi Negara yang agung dan bersih. Keben juga memiliki maknahangrungkebijejering bebener atau merangkul kebenaran. Oleh sebab itu pada hari perdamaian Sedunia yang juga bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup,5 Juni 1986 Presiden Soeharto menobatkan tanaman ini sebagai tumbuhan sekaligus tanaman ramah lingkungan.

Kepel bermakna berstuanya benih karena kemauan bersama didasari saling mengasihi. Sehingga Laku Budaya inipun diharapkan dapat menumbuhkan suasana kerukunan antar umat beragama yang penuh kasih, Pohon Asem dengan daun yang masih muda bernama sinom melambangkan gadis yang masih anom atau mudaselalu nengsemaken atau menarik hati, maka selalu disanjung yang divisualisasikan dengan pohonTanjung. Maka dulu banyak ditanami pohon asem dan tanjung. Makanya, kerukunan ini harapan Sultan menarik minat banyak pihak agar menjadi sebuah gerakan yang pantas dihargai.

Sementara ituPohon Sawo Kecik yang ditanam ditepi jalan berfungsi sebagai peneduh dan pengurang polusai. Tetapi sesungguhnya lanjut Sultan sawo kecik ini merupakan tanaman dihalaman rumah yangbermaknasarwo besik atau serba baik. Maknanya adalah arah Laku Budaya ini pun juga kebaikan bersama. Bahkan tandas Sultan HB X Ki Hadjar Dewantara pernah berpesan dengan melarang menaburkan bunga kantil diatas pusarannya. Karena makna simbolik bungan kantil, dalam bahasa Jawa adalah menempel yang mengandung unsure ketergantungan dan ketidakmandirian. Tetapi dalam konteks ini, kembang kantil berarti saling kantil lan kintil, yang bermakna saiyeg-saeko kapti dalam membangun kerukunan, sehingga akan tercipta sebuah kehidupan yang penuh Susana kedamaian.

Adapun prosesi Gerakan Lintas agama tanam pohon yang dikemas dalam kegiatan Laku Budaya taruparwo Tepung banyu Sedulur,Nandur Wiji Karahayon (mempertemukan air persaudaraan,menenam benih kesejahteraan) dengan lambing pengambilan air suci dari tujuh (7) titik mata airdi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu air suci dari sumber :Sendang Widodaren, Sendang Kadawetan, Sendang Kasihan, Sendang Nirmala,Sendang Jumprit, Sendang Banyu urip dan sendng Nogotirto dibawa dengan7 kendioleh 7 gadis suci yang kemudian dituangkan jadi satu dalam pengaron di tengah pulauSiput Telaga Patembayatan.

Setelah itu Sri Sultan Hamengku Buwono Xsecara berurutan menanam 7 batang pohon yaitu pohon kepel,Beringin,Sawokecik, keben,gayam,tanjung dan asem yang kemudian siram dengan air dari 7 sendang tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan melepaskan anak panahuntuk membunuh raksasa perusak lingungan ditengah telaga patembayatan dan terbakarlah.Dengan terbakarnya raksasa Ini sebagai simbolisasihilangnya perusak lingkungan danterlahirnya kedamaian dengan ditandatanganinya prasasti yang disakasikan oleh Tokoh-tokoh antarumat beragama dari 7pemeluk agama dan kepercayaan di Provinsi DIY.

Dibagian lainnya dalamm orasi budayanya Sri Sultan HB X mengatakan bahwabertemunya perdaban spiritual dan peradaban multicultural yang akan kita wujudkan adalah ketika peradaban spiritual ditandai situasi dimanaeco actin mengalahkanego action . Dan, peradaban multikultur ditandai dengan ditemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan local, dimana terjadi dominasi biophily terhadap necrophily, yang ditandai oleh perasaan cinta pada segala sesuatu yang manawiah yang berjiwa kehidupan.

Menyinggung perkembangan Budaya dalam Orasinya lebih lanjut Sultan menyatakan bahwasebagai bangsa yang berbhenika, kita memiliki dua macam system budaya yang sama-sama harus diperlihara dan dikembangkan, yakni system budaya nasional Indonesia dan system budaya etnik local. Sistem budayanasionala dalah sesuatu yang relative baru dan sedang berada dalam proses pembentukannaya. Sistem ini berlaku secara umum untuk seluruh bangsa Indonesia, tetapi sekaligus berada diluar ikatan budayaetnik local yang manapun.

Nilai nilai budaya yang terbentuk dalam system budaya nasional itu bersifat menyongsaiong masa depan, misalnya pencarian kebenaran duniawi melalui jalan ilmiah ; pernghargaan terhadap sesame atas dasar prestasi lebih daripada atas dasar kedudukan ; penghargaan yang tinggi pada kedaulatan rakyat, serta toleranasi dan simpati terhadap budaya suku bangsa yang bukan suku bangsanya sendiri.

Selama ini budaya cenderung diposisikan sekadar latar belakang dalam wacana serta praktik kenegaraan dan akemasyarakatan. Kurang terartikulasinya budaya itu. Krena cenderung memahami budaya secara sempit sebagai benda peninggalan dan mentalitas yang selalu dikaitkan dengan kelampauan.Padahaltandas Sultan budaya itu memiliki sifat kekinian dan aktif sebagai proses penataan social, ekonomi dan tekhnologi. Selama ini ditanggapii secara sektoral dan terkotak-kotak, yang pada dasarnya dil;andasi dan tidak terpisahkan dari factor budaya.

Menurut Sultan HB X Ketidakselarasan perkembangan ddengan budaya local bisa berpotensi melahirkan konflik dalam berbagai bentuk. Dialog budaya untuk penyelesaian konflik, apalagi yang bernuansa agama, memang membutuhkan kesabaran dan kosnsistensi, serta perlu dukungan energi dari berbagai gerakan perdamaian yang sangat besar. Energi yang terpisah-pisah perlu diikat dan dipersatukan dan menjadikan sinergi untuk resolusi konflik lewat pembangunan perdamaian berbasis masyarakat.

Dalam mengakhiri orasinya Sri Sultan mengatakan: Ketika kita jenuh hidup, jalan yang bijak adalah menyelam kedanau kebudayaan. Di sana airnya jernih sejernih Sang kudus, sebiru nirmala Yang maha Pencipta. Dengan metafora jernihnya air kebudayaan itu, pendekatran cultural seharusnya menjadi arah utama uipaya solusi konflik saosial, agar tidak meluas menjadi kekerasan kolektif tanpa hati.Laku Budaya taruparwa dengan Tema Tepung Sedulur, nandur Wiji Karahayon adalah sebuah pendekatan kulotural yang pada hakikatnya merupakan mediaasi kemanusiaan yang bersumber dari hati nurani guna tercapainya perdamaian yang berkelanjutan.

Hadir dalam prosesi Laku Budaya Taruparwo Tepung banyu Sedulur,Nandur Wiji Karahayon Tokoh-tokoh lintas Agama dan kepercayaan, Pejabat dari Yayasan Ampera, para sponsor serta jajaran yayasan Go Green yang kemudian diakhiri dengan santap siang serta dimeriahkan berbagi kesenian yang berasal dari kabupaten Kota se DIY sepertiKesenian Rindi dari Gunungkidul,Kesenian Dayakan, tari bondan, tari Dewi Sri dan lain-lain. (Kar/rsd)

Humas Provinsi DIY

Bagaimana kualitas berita ini: