10 Mar 2023
  Humas DIY Berita,

Menjaga dan Memaknai Filosofi Hamemayu Hayuning Bawono

Yogyakarta (10/03/2023) jogjaprov.go.idHamemayu Hayuning Bawono menjadi filosofi yang mendasari pembangunan area Keraton Yogyakarta beserta vegetasi yang ada di dalamnya. Sri Sultan Hamengku Buwono X, saat memberikan sambutan di hari kedua International Symposium on Javanese Culture 2023 menyebutkan jika tidak ada rumusan yang bisa dipahami secara utuh mengenai konsep hamemayu hayuning bawono. Meskipun di buku Sultan Agung, Sastra Gending kalimat filosofi tersebut ada.

“Kami mencoba menerjemahkan hamemayu hayuning bawono. Pertama, keselamatan alam ciptaanNya bisa dijaga dan selamat hanya tergantung kepada kebijaksaan manusia sendiri. Kedua adalah sifat-sifat keutamaan manusia atau sifat seorang kesatria dengan didasari keikhlasan yang memungkinkan bangsa dan negara ini tetap utuh. Ketiga keselamatan manusia itu hanya dimungkinkan karena rasa kemanusiaannya,” terang Ngarsa Dalem, Jumat (10/03) di The Kasultanan Ballroom Royal Ambarrukmo.

Pangeran Mangkubumi membangun Keraton Yogyakarta dibangun berdasar filosofi hamemayu hayuning bawono. “Bagi saya seminar dua hari ini akan melengkapi penerjemahan aspek mikronya itu di dalam konteks hamemayu hayuning bawono, dimana hamemayu hayuning bawono sebagai filosofi kehidupan masyarakat dan pembangunan di Jogja ini untuk bisa diakui UNICEF,” ungkap Ngarsa Dalem. Hal ini berkaitanndengan sumbu filosofi yang tengah diusulkan kepada UNESCO menjadi warisan budaya dunia.

Tujuan pendaftaran kepada UNESCO diantaranya adalah agar filosofi tersebut tetap terjaga dan dipahami dari generasi ke generasi. Perubahan tentu saja akan terjadi, tapi prinsip hamemayu hayuning bawono akan terus menjadi dasar pembangunan di Yogyakarta. Ngarsa Dalem mengungkapkan jika yang didaftarkan ke UNESCO adalah filosofinya, agar tetap lestari dan terjaga sepanjang zaman. Yaitu kawasan Tugu-Panggung Krapyak dengan sebanyak 21 titik. Saat ini masih menunggu hasil rapat pleno yang rencananya akan diumumkan pada 22 September mendatang.

Gelaran Simposium Internasional Budaya Jawa tahun ini diakhiri secara dengan sambutan penutup oleh GKR Bendara. Dalam kesempatan ini, GKR Bendara turut menyampaikan beberapa pembaruan di Museum Keraton Yogyakarta. “Semoga segala pembaruan yang ada di Keraton Yogyakarta bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Kami ucapkan terima kasih banyak kepada seluruh pihak yang telah berpartisipasi dan mendukung terselenggaranya rangkaian acara ini, dan sampai jumpa di kegiatan Keraton Yogyakarta berikutnya,”pungkas GKR Bendara.

Hari kedua Simposium Internasional Budaya Jawa menghadirkan dua sesi diskusi dan satu sesi gelar wicara yang akan mengajak masyarakat mengenal Lebih dekat Keraton Yogyakarta. Sesi sastra mengawali International Symposium on Javanese Culture 2023 dengan menghadirkan moderator KRT. Condrowaseso atau Dr. Kuswarsantyo, Abdi Dalem Kawedanan Kridhamardawa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga seorang pengajar di Universitas Negeri Yogyakarta.

Adapun materi paparan dari pembicara sesi Sastra adalah mengenai Vegetasi dalam Naskah-Naskah Jawa oleh Dr. Arsanti Wulandari, M.Hum. Paparan tersebut disambung dengan Tumbuhan dalam Ilustrasi Serat Bratayuda Naskah Pusaka Keraton Yogyakarta oleh Kustri Sumiyardana, M.Hum; dan Etnoflora sebagai Metafora dalam Teks Wanita Utama: Perspektif Botani Sastra oleh Nur Eka Ratna Dewi.

“Dari pemaparan ketiga presenter dan diskusi tadi, ragam tumbuhan yang ditemukan dalam sastra ternyata memang memberikan makna-makna yang tak hanya denotatif, namun juga konotatif. Simbol-simbolnya banyak merepresentasikan hidup manusia,” simpul KRT Condrowaseso

Sebelum jeda istirahat siang, berlangsung sesi gelar wicara “Mengenal Lebih Dekat Keraton Yogyakarta”. Dalam sesi gelar wicara ini, KPH Notonegoro yang merupakan Penghageng Kawedanan Kridhamardawa merilis buku katalog Awisan Dalem Bathik Vol. 1 Parang. Buku ini dibagikan secara gratis pada seluruh peserta simposium. Meskipun penggunaan batik Awisan Dalem tidak lagi seperti jaman dahulu, yang wajib dipatuhi di seluruh wilayah Yogyakarta, tapi Awisan Dalem masih berlaku di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta.

“Tentu saja harapannya ke depan dengan buku katalog ini masyarakat jadi tahu batik-batik apa saja yang menjadi Awisan Dalem. Buku ini bisa jadi dasar pedoman atau pegangan untuk kita semua,” ungkap KPH Notonegoro. (Wd/Indr/Trs)

Humas Pemda DIY

Bagaimana kualitas berita ini: