27 Agt 2012
  Humas Berita,

Mudik Temukan Esensinya Dengan Ngabekten atau Sungkeman

Mudik Temukan Esensinya Dengan Ngabekten atau Sungkeman

 

KEPATIHAN YOGYAKARTA (24/08/2012) pemda-diy.go.id - Mudik telah menjadi ritus budaya yang mentradisi dalam masyarakat. Fenomena mudik berkaitan dengan perayaan Idul Fitri atau akrab disebut Lebaran. Dari segi ritus budaya, mudik ditandai dengan dua hal, yaitu pertama, merupakan kebutuhan primer tahunan masyarakat urban. Kedua, meski mempunyai korelasi waktu dengan Idul Fitri yang notabene ritual Islam, mudik juga melibatkan hampir seluruh lapisan msyarakat, termasuk non-Muslim, yang sekaligus dijadikan jembatan klangenan atau jembatan nostalgia dengan masa lalu.

Demikian dikatakan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, pada Syawalan dan Silaturahmi Muspida, Pejabat dan Tokoh Masyarakat, di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta, Jumat (24/08) malam. Hadir dalam acara itu anggota DPR RI, DPD RI, GKR Hemas, pimpinan dan anggota DPRD DIY, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, Gubernur AAU, Komandan Lanud Adisucipto, Komandan Lanal Yogyakarta, Bupati Walikota, sejumlahj pejabat TNI Polri dan tokoh masyarakat DIY.

Dikemukakan, hubungan sosial di perkotaan tempat mengais rejeki, berbeda 180 derajat dengan solidaritas sosial yang dibangun di pedesaan, tempat mereka berasal, yang lebih menekankan ikatan emosional, moralitas dan kekerabatan. Praktis selama sebelas bulan lamanya, manusia disibukan dengan segala aktifitas yang bisa memalingkan dirinya dari potensi ke-Illah-ian, tersingkir oleh berbagai agenda kegiatan keagamaan. oleh sebab itu ibadah puasa Ramadhan berupaya memudikkan manusia pada jalur awalnya yang benar ke arah sangkan paraning dumadi. Maka sebagai mahkluk yang serba terbatas, manusia memilih beragama justru dalam rangka menyempurnakan dirinya menuju kasampurnaning agesang. Melalui Idul Fitri manusia dituntut mampu melakukan pemaknaan kembali terhadap fitrah kemanusiaannya, yang diukur dari seberapa kemampuannya dalam olah rohani dan merajut jalinan kasih dengan sesama.

Disinilah mudik menemukan esensinya dengan ngabekten atau sungkeman, karena mampu melenyapkan kelelahan dan duka-cerita. Dan disini pulalah agama berhimpitan dengan budaya dan tradisi, saat ajaran agama menemukan sifatnya yang lokal, yang disebut Islam cultural, ujar Sultan.

Jika dalam diri manusia telah merasuknya trilogi Puasa, Mudik dan Fitrah, sebagai panggilan jiwa, lanjutnya, maka akan membawa konsekwensi kultural, bahwa pejabat yang mengambil kebijakan harus bukan lagi kepentingan egonya, tetapi demi kepentingan publik. Bila hal ini terwujud, maka terjadilah apa yang dalam tradisi Jawa disebut manunggaling kawula-gusti, yaitu pertautan pimpinan dengan rakyatnya yang sejati, hal ini otentik dalam kesadaran intuitif tanpa pretensi, karena bukan lagi pencitraan, popularitas, uang atau tanda jasa yang dicari.

Marilah kita jadikan Syawalan hari ini sebagai momentum untuk mengerahkan seluruh energi rohani, guna membangun peradaban baru yang istimewa dan otentik, untuk menggantikan peradaban yang penuh kepalsuan dan keserakahan yang kasat mata, ajak Sultan.

Sementara Ketua DPRD DIY, H. Yoeke Indra Agung Laksana, SE, melalui Wakil Ketua H. Sukedi mengatakan, sebagai umat Islam, sudah selayaknya berlapang dada kususnya terhadap sesama, yang sudah barang tentu, dalam kehidupan sehari-hari melakukan hal-hal yang membuat kilaf, rasa salah dan berdosa. Untuk itu ia mengajak hadirin untuk membuka diri, penuh iklas atas ridho Allah meminta dan memberi maaf atas kesalahan dan kekilafan.

Yang tidak kalah penting, acara ini untuk meningkatkan tali silaturahmi yang esensinya agar diantara kita saling mengenal dan mawas diri, sehingga komunikasi. koordinasi dan kemitraan makin meningkat. Kami berharap dikesempatan yang akan datang perlu kita tingkatkan pelayanan kepada masyarakat yang lebih optimal, sehingga keadilan dan kesejahteraan dapat terwujud, katanya. (ip/rsd)

HUMAS

 

Bagaimana kualitas berita ini: