10 Okt 2011
  Humas Berita,

Sultan Beri Pengarahan Wawasan Kebangsaan

 

Bhineka Tunggal Ika Bukan Sekedar Simbul Negara Tetapi Strategi Integrasi Bangsa

 

 

YOGYAKARTA (06/10/2011) pemda-diy.go.id Berbicara masalah wawasan kebangsaan meliputi tiga aspek, yaitu menyangkut masalah semangat kebangsaan yang akan menjiwai paham dan rasa kebangsaan. Sebab tiga aspek itu yang akhirnya terangkum di dalam pemahaman wawasan kebangsaan.

Demikian ditegaskan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, dalam pengarahan Wawasan Kebangsaan, yang berlangsung di Ruang Yudhistira, Jogja Ekspo Center, Jalan Janti, Kamis (06/10). Pengarahan Sultan tentang Wawasan Kebangsaan, diikuti Bupati Walikota se DIY, para Kepala SKPD Pemprov DIY, para Danrem, Dandim se DIY Jateng, para Rektor perguruan tinggi di DIY, sejumlah PNS, Menwa, dan ormas.

 

Dikatakan Sultan, semangat kebangsaan bisa di lihat dari produk Sumpah Pemuda 1928 di mana yang berbeda-beda itu tanpa melihat perbedaan, tetapi sungguh-sungguh mempunyai semangat untuk menyatakan diri sebagai suatu bangsa. Dalam sumpah pemuda itu papar Sultan, adalah semangat kejuangan bagaimana para pemuda waktu itu membangun suatu bangsa. Kalau menyangkut paham kebangsaan, yaitu bagaimana dari adanya suatu perbedaan-perbedaan dalam berbagai kelompok yang akhirnya menyatakan diri sebagai suatu bangsa serta memproklamasikan berdirinya sebuah negara.

 

Paham kebangsaan mempunyai nilai di dalam konteks hubungan antar bangsa dan antar negara. Kalau rasa kebangsaan dari konteks yang berbeda-beda itu tanpa melihat kelebihan dan kekurangannya, mereka mempunyai kemampuan menjadikan yang berbeda-beda itu menjadi kelompok yang mempunyai tujuan sama atau, mempersamakan diri menjadi satu kesatuan untuk mendirikan suatu negara. Disitu bangsa itu ada, sehingga rasa kebangsaan itu yang menopang berdirinya sebuah negara, terang Sultan.

 

Dari konteks seperti itu tambah Sultan, harus dipahami bersama bahwa dalam konteks wawasan kebangsaan yang sudah jelas tertuang di dalam pemahaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara itu, ada empat pilar kebangsaan yang perlu ditegakkan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

 

Saya kira kita memahami aspek-aspek itu, walaupun di dalam konteks kebangsaan ada faktor kelemahan, karena apa, karena kalau kita bicara kebangsaan berarti menterjemahkan kita di dalam konteks peradaban suatu bangsa, tuturnya.

 

Menurut Sultan, kalau berbicara Pancasila, UUD 1945, NKRI maupun Bhineka Tunggal Ika, berarti berbicara pada aspek-aspek yang sifatnya obyektif sebagai urusannya institusi negara. Seperti misalnya, bagaimana menciptakan UU yang tidak bertentangan dengan bunyi konstitusi Pancasila sebagai sumber hukum, ideologi negara di dalam berbangsa bernegara. Bagaimana kebijakan-kebijakan itu bisa menjaga bangsa ini tetap bersatu di dalam konteks merah putih, NKRI, dan bagaimana juga negara ini dalam mengambil suatu kebijakan biarpun UUD 1945 ini bisa diamandemen, kendati mukadimah tidak boleh diubah. Karena kalau mukadimah diubah berarti negara ini juga diubah, berdirinya sesuai dengan perubahan yang terjadi tanggal itu, bukan proklamasi 17 Agustus lagi.

 

Ini yang saya maksud kebijakan-kebijakan institusi dalam konteks obyektif. Bagi saya itu tidak ada masalah, tetapi yang saya prihatin itu menyangkut kebijakan negara dalam bunyi konstitusi yang menyangkut masalah-masalah yang berkaitan dengan Bhineka Tunggal Ika, kata Sultan seraya berpendapat bahwa sebagai bentuk konsistensi keutuhan, republik ini menghargai dalam konstitusi hak-hak warga masyarakat dari suku apapun, agama apapun yang diakui syah, artinya dilindungi oleh konstitusi.

 

Sehingga harapan saya, Bhineka Tunggal Ika bukan sekedar simbul negara, tetapi bagi saya Bhineka Tunggal Ika adalah strategi integrasi bangsa. Berarti apa, di sini tidak ada mayoritas minoritas, semua warga negara dengan suku apapun, agama apapun mempunyai hak yang sama untuk berkontribusi pada kebesaran bangsa dan negara ini, ujarnya.

 

Sementara Pandam IV Diponegoro, Mayjen Mulhim Asyrof mengatakan, perang saat sekarang tidak seperti masa lalu. Sehingga kecil kemungkinan terjadi invasi tentara luar negeri masuk ke Indonesia, sebab mereka akan berhadapan dengan PBB. Perang saat ini bukan hanya antar tentara, tetapi sudah perang multidimensi. Apa saja bisa digunakan untuk perang, bukan hanya teknologi namun ada perang-perang yang lain, misalnya perang budaya.

 

Indonesia sedang menghadapi serangan dari luar, sadar atau tidak sadar, kita sedang perang dalam sisi budaya. Misalnya kita kebanjiran film impor Amerika, Rambo. Isinya menggambarkan tentara AS sangat kuat. Karena dicekoki terus dengan film tersebut, mainset kita terpaku bahwa tentara AS sangat luar biasa. Bagi teman-teman yang sudah ke Amerika, ya podo wae (sama saja-red) tentara, hanya senjata mereka lebih maju. Film Mandarin, mainset kita orang Cina jago kungfu, dibanding kita yang ada film hantu, kuntilanak. Ini menunjukkan perang budaya dimulai, katanya mencontohkan.

 

Sekarang, masyarakat Indonesia menghadapi perang ekonomi maupun perang bahan makanan. Sebagai negara kaya Indonesia mengimpor beras bahkan garam dan banyak lagi impor barang-barang yang lain.

 

Saya bingung, kita ini kaya tapi coba bayangkan beras, garam impor. Ini perang apa jenenge, perang dagang,, perang ekonomi, saya tidak tahu, katanya. (rsd)

 

 

HUMAS Ro UHP DIY

Bagaimana kualitas berita ini: