20 Des 2018

Sultan Tegaskan Komitmen Toleransi di Jogja

Yogyakarta (20/12/2018) jogjaprov.go.id - Berkaitan dengan pemberitaan yang viral tentang pemakaman di Purbayan, Kotagede, pada Kamis (20/12) pagi ini Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X didampingi Walikota Yogyakarta, tokoh masyarakat Purbayan, Kotagede, beserta Paroki Pringgolayan memberikan keterangan kepada media di Balaikota Yogyakarta.

Di awal konferensi pers, Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti menegaskan bahwa konstruksi sosial di Purbayan, Kotagede, sebetulnya tidak terjadi apa-apa, tetapi pemberitaan di luar wilayah justru menjadi tinggi tensinya.

Selanjutnya, Gubernur DIY yang telah mendapatkan keterangan melalui dialog dengan semua pihak terkait, mengungkapkan harapannya agar insan media bersama-sama membangun suasana di Jogja tetap kondusif.  Berita-berita yang berlebihan dan memberikan nuansa kesalahpahaman atau ketidakakuratan akan menimbulkan prasangka dan menumbuhkan isu yang kurang tepat. 

Gubernur DIY beserta jajaran pemerintah di DIY berupaya maksimal jika ada sebuah persoalan, agar diupayakan penyelesaiannya oleh pembina wilayah setempat secara bertahap. "Terkait dengan persoalan ini, mari kita letakkan pada duduk persoalannya secara proporsional,'' Sri Sultan menambahkan. 

Gubernur DIY melanjutkan, berdasarkan berbagai dialog dan keterangan yang didapatkan, pemahaman warga masyarakat belum tentu sama, melihat suasana, melihat keadaan, maupun melihat kondisi faktual yang belum tentu dipahami secara kronologis dan utuh.

"Kita memahami aturan, konstitusi, perundang-undangan, tapi di satu pihak belum tentu masyarakat secara keseluruhan semua paham. (Terkait pemakaman di Kotagede) Mungkin cari praktisnya, dasarnya komitmen kebersamaan untuk menjaga kerukunan antarwarga agar tidak terjadi gejolak, sehingga kesimpulan-kesimpulan yang diambil bersifat praktis, pada kondisi, ruang, dan waktu yang memang terbatas. Kesepakatan pun diambil, tetapi ada yang terlupakan."

Sri Sultan menekankan, "Aparat di berbagai tingkatan di daerah, dalam menjaga kerukunan warganya berpegang pada tiga hal yang secara kultural pasti dipahami: ngono yo ngono ning ojo ngono, tepo seliro, dan sithik eding."

Dalam konteks kejadian pemakaman di Kotagede, dari dialog-dialog yang telah dilakukan, prinsip tepo seliro dan sithik eding dijalankan. Karena dari proses pemakaman pun masyarakat sekitar berpartisipasi tanpa membeda-bedakan asal-usul agamanya maupun latar belakang lainnya. Mengingat keluarga yang berduka juga aktif bermasyarakat dan menjalin hubungan baik dengan sesama warga di lingkungannya.

"Mungkin persoalan yang menjadi isu, itu salib yang dipotong. Ini pembelajaran bagi kita semua, bahwa agama dan simbol-simbol keagamaan itu dijamin di dalam konstitusi. Di sini, kita kurang tanggap terhadap simbol-simbol itu, hanya mungkin mencari praktisnya saja sebagai bentuk kompromi. Saya mengingatkan, kesepakatan warga itu baik untuk menjaga harmoni masyarakatnya. Tapi, sebagai pejabat pembina wilayah setempat harus bisa mengingatkan, kalau ada aspek-aspek yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan agar pembina wilayah memberi tahu untuk tidak keliru dalam penerapannya. Sehingga jangan sampai terjadi prasangka intoleransi ataupun memojokkan seseorang pada kondisi tidak ada pilihan lain,'' imbuh Ngarsa Dalem.

Sebagai pemerintah dan aparat, Sri Sultan mengungkapkan agar peristiwa ini menjadi peristiwa yang menjadi pembelajaran, agar lebih hati-hati dalam melangkah. 

"Kepada Bu Slamet dan keluarga maupun Vikep dan Paroki Pringgolayan, saya menyampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya dari peristiwa ini,'' ucap Sri Sultan.

Meskipun aparat di tingkat RT, RW maupun Kelurahan tidak mengetahui bahwa kejadian ini akan berdampak luas, Sri Sultan sebagai pembina wilayah di DIY menyampaikan permohonan maaf atas nama pemerintah dan aparat di DIY. "Ini pembelajaran bagi kita semua, bagaimana masyarakat Jogja itu tetap bisa menjaga toleransi dan harmoni masyarakat agar tetap rukun, damai, dan merasa aman dan nyaman tinggal di Jogja. Kita punya kewajiban untuk tetap menjaga Jogja menjadi wilayah yang memiliki toleransi tinggi,'' lanjut Ngarsa Dalem. 

Di akhir konferensi pers, Sri Sultan kembali menegaskan, "Jogja punya komitmen, bagaimana toleransi itu menjadi bagian yang tetap dipertahankan. Bangsa ini diproklamasikan dasarnya adalah kebersamaan dari semua suku dan agama yang ada di Republik ini. Sehingga dalam Pancasila pun bunyinya Persatuan Indonesia, bukan Kesatuan Indonesia. Komitmen ini kita pegang, karena Jogja telah menjadi bagian dari Republik Indonesia. Kita punya komitmen untuk itu, sehingga kita semua harus mau menjaga, baik warga Jogja asli maupun pendatang harus bisa memahami bahwa kemajemukan telah menjadi kekuatan, bukan kelemahan yang bisa dicabik-cabik." (alh)

HUMAS DIY

____

Video konferensi pers ini juga bisa disimak melalui channel youtube Humas Jogja

 

Bagaimana kualitas berita ini: