14 Jun 2013
  Humas Berita,

Yogyakarta Tuan Rumah Symposium on Disaster Risk Reduction and Resilience

Yogyakarta Tuan Rumah Symposium on Disaster Risk Reduction and Resilience

YOGYAKARTA (14/06/2014) jogjaprov.go.id. Kedutaan Besar Republik Indonesia di USA, bekerjasama dengan University of Hawaii Manoa, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Islam Indonesia ini berlangsung selama dua hari (13-14/6) menyelenggarakan Symposium on Disaster Risk Reduction and Reselience di Sheraton Mustika Yogyakarta Resort and Spa.

Adapun tujuan dari simposium INI adalah untuk mendekatkan keilmuan dengan pendekatan kemasyarakatan guna meningkatkan kapasitas lokal terkait pengurangan risiko bencana, khususnya di wilayah Indonesia.

Berdasarkan laporan BNPB melalui beberapa media cetak nasional, diprediksikan akan terjadi peningkatan bencana hidrometeorologi hingga pertengahan tahun ini. Bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan angin puting beliung seringkali terjadi di Indonesia, sekitar 95 persen dari bencana yang terjadi. Walhi juga menyatakan banjir masih mendominasi bencana hingga saat ini di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Dengan demikian karena banyaknya bencana yg terjadi di wilayah Asia Pacific mendorong jaringan APDR3 (Asia Pacific Disaster Risk Reduction) bersama pihak akademik, pemerintah, dan NGO untuk mengadakan diskusi dalam sebuah simposium.

Dinyatakan pula bahwa selama lima bulan ini telah terjadi 776 kejadian bencana dengan banjir 212 kejadian, tanah longsor 138 kejadian, puting beliung 195 kejadian, dan lainnya. Bencana melanda hampir 3846 desa pada 1548 kecamatan di 311 kabupaten. Banjir dan tanah longsor diprediksi akan terus meningkat karena adanya anomali suhu muka air laut yang menghangat di peraian Indonesia yang menyebabkan uap air melimpah dan intensitas curah hujan tinggi di beberapa daerah. Sedangkan, di beberapa daerah lain bisa terjadi kekeringan panjang dan gelombang laut tinggi.

Dengan adanya sosialisasi seperti ini, harapannya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan pemerintah daerah bisa melakukan persiapan dan peningkatan kapasitas guna menghadapi bencana yang mungkin terjadi. Begitu juga dengan Dinas Kesehatan harus bersiap menghadapi kejadian-kejadian penyakit yang erat hubungannya dengan perubahan lingkungan dan kejadian bencana, antara lain demam berdarah, diare, dan malaria

Koordinasi lintas sektor dan peningkatan pemahaman tentang mitigasi bencana tidak bisa diabaikan dalam upaya meminimalisir korban. Karena itu, dibutuhkan konsep mitigasi bencana yang terintegrasi dan terkoordinasi dengan jelas.

Presiden University of Hawaii System Dr MRC Greenwood menegaskan hal itu dalam 'Simposium Asia Pacifik Disaster Risk Reduction Resilience' (APDR3) atau Simposium Asia Pasifik Pengurangan dan Ketahanan Risiko Bencana Indonesia di Hotel Sheraton Mustika Yogya, Kamis (13/6).

Kegiatan ini menampilkan sejumlah narasumber seperti Dr. Maya Soetoro Ng, peneliti University of Hawaii at Manoa (UHM), Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Dr Surono, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif, Parni Hadi pendiri yayasan Dompet Duafa serta Rezal Kusumaatmadja yang merupakan penggagas Restorasi dan Konservasi Katingan di Kalimantan Tengah.


Menurut Greenwood, Presiden Universitas Of Hawai, melalui pertemuan yang berlangsung Kamis-Jumat (13-14/6) ini diharapkan dapat merumuskan konsep meminimalisir korban bencana melalui kegiatan aksi yang terprogram baik. Pertemuan ini diprakarsai University of Hawaii at Manoa, UGM dan UII Yogya.


Dalam simposium tersebut dikemukakan pula oleh Surono bahwa pertemuan menitikberatkan pada upaya membangun ketahanan dan ketangguhan masyarakat dalam pengurangan resiko kebencanaan. Diharapkan, ada kolaborasi ilmu pengetahuan yang baru kombinasi dari ilmu pengetahuan modern dan tradisionalitas.


"Sekali lagi, Yogya menyapa dunia. Lewat simposium yang sangat menarik ini Yogya menunjukkan bagaimana caranya meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana," ujar Surono. Menurut dia, seharusnya yang kini dilakukan adalah memang membangun ketahanan dan ketangguhan masyarakat terhadap bencana.


Dikatakan, hal ini pula yang sudah dilakukan di Yogyakarta, terutama di Merapi. "Yogya sudah menunjukan kepada dunia, masyarakat Merapi bisa membangun ketangguhan dengan daya lenting luar biasa. Bahkan mereka bisa menciptakan bencana menjadi wisata, inilah bukti Yogya menyapa dunia," ujarnya. (Kar/Teb)

HUMAS

Bagaimana kualitas berita ini: