02 Agt 2019
  Editor Berita,

Beteng Baluwarti, Saksi Bisu Perkembangan Yogyakarta

Yogyakarta (02/08/2019) jogjaprov.go.id - Beteng Keraton Yogyakarta yang menjadi salah satu ciri atau ikon Yoyakarta, merupakan salah satu saksi sejarah perjalanan pemerintahan Keraton Yogyakarta. Sebagaimana dilansir dari situs resmi Keraton Yogyakarta kratonjogja.id, dulunya beteng ini berfungsi sebagai tembok pertahanan keraton saat melawan penjajah. Dari masa ke masa, benteng keraton juga telah menjadi saksi bisu bagi perkembangan Kota Yogyakarta itu sendiri.

Beteng ini sendiri merupakan tembok lapis terluar yang mengelilingi Keraton Yogyakarta. Sebab, pada dasarnya, Keraton Yogyakarta memiliki dua lapis tembok. Lapisan dalam berupa tembok cepuri yang mengelilingi kedhaton, atau kawasan keraton. Tembok berikutnya jauh lebih luas dan kuat, disebut dengan tembok Baluwarti, yang memiliki kesamaan bunyi dengan kata baluarte dari Bahasa Portugis yang juga berarti benteng. Selain kedhaton, tembok Baluwarti juga melingkupi kawasan tempat tinggal kerabat Sultan dan pemukiman Abdi Dalem, area yang kini sering disebut sebagai kawasan Jeron Beteng.

 

Beteng dan Unsur Pendukungnya

Beteng Baluwarti keraton ini dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I dan selesai pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Fungsinya adalah sebagai pertahanan akan serangan yang dilakukan oleh penjajah. Satu kesatuan beteng itu sendiri dulunya terdiri dari lima buah pintu sebagai akses atau yang dikenal dengan plengkung dan dikelilingi oleh empat bastion pada empat sudut beteng. Plengkung tersebut antara lain Plengkung Tarunasura (Wijilan), Plengkung Nirbaya (Gadhing), Plengkung Jagasura, Plengkung Jagabaya, dan Plengkung Madyasura/Tambakbaya (Plengkung Bunthet).

Saat ini, hanya dua dari lima plengkung tersebut yang masih dapat dilihat keberadaannya yakni Plengkung Tarunsura dan Plengkung Nirbaya. Plengkung Jagabaya yang berada di sisi barat jalan Kadipaten, telah berubah menjadi gapura atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Hal yang sama terjadi pada Plengkung Jagasura yang berada di wilayah Ngasem, yang juga diubah menjadi gapura.

Lain lagi dengan Plengkung Madyasura yang berada di sebelah barat jalan Kantor Diskominfo DIY, hanya tersisa reruntuhannya saja. Saat peristiwa Geger Sepoy tanggal 20 Juni tahun 1812, plengkung ini digunakan ditutup secara permanen untuk menghalau pasukan Inggris dikabarkan akan menyerang keraton. Berikut adalah gambaran serangan tentara Sepoy saat peristiwa Geger Sepoy: 

Sumber: Kuasa Ramalan, Peter Carey

Akses plengkung tersebut tersebut baru dibuka kembali pada tahun 1923 atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939). Sehingga, plengkung tersebut dikenal dengan nama Plengkung Bunthet. Saat ini, hanya reruntuhan dari plengkung tersebut saja yang dapat disaksikan oleh masyarakat, seperti pada gambar berikut:

 

sumber: @kratonjogja (foto diambil tahun 2016)

Plengkung Madyasura di masa lalu

Sumber: BPCB : Lensa Budaya 

Selain plengkung, beteng Keraton itu sendiri juga dilengkapi dengan bastion. Keempat sudut benteng ditambah dengan bangunan baru sehingga berwujud segi lima. Pada ketiga sudut yang menjorok keluar diberi semacam sangkar sebagai tempat penjagaan yang disebut sebagai bastion. Bentuknya seperti tabung dengan lubang-lubang kecil untuk mengintai. Pada dinding antar bastion diberi longkangan sebanyak sepuluh buah sebagai tempat memasang meriam. Bastion ini sendiri terletak di sisi barat daya, barat laut, timur laut, dan sisi tenggara.

Adapun bastion sisi timur laut, terkena imbas dari peristiwa serangan Geger Sepoy tanggal 20 Juni tahun 1812. Bala tentara Inggris yang saat itu menguasai Jawa menyerang Keraton Yogyakarta. Mereka berhasil meledakkan gudang mesiu yang berada di Pojok Beteng Timur Laut yang membuat beteng di sisi tersebut hancur. Untuk mengenang peristiwa tersebut, dibuat prasasti yang diletakkan di lokasi yang dulunya merupakan lokasi bastion:

 

sumber: kratonjogja.id

Secara utuh, ilustrasi beteng baluwarti dapat dilihat pada gambar berikut:

sumber: kratonjogja.id

Di samping bastion dan plengkung, pada sisi luar benteng terdapat parit yang dalam dan jernih airnya. Parit itu disebut jagang, sisi luarnya diberi pagar bata setinggi satu meter. Pohon gayam ditanam sebagai peneduh di sepanjang jalan yang mengelilingi benteng. Saat ini sebagian besar benteng telah tertutup oleh pemukiman. Tidak ada lagi jagang yang tersisa, kalau pun ada hanyalah selokan di sisi pojok beteng sebelah tenggara.

Bahkan, keadaan benteng dan sekitarnya pada zaman dahulu tersebut digambarkan dalam gubahan tembang Mijil, seperti dilansir dari situs Kemendikbud RI sebagai berikut:

Ing Mataram betengira inggil,

Ngubengi kadhaton,

Plengkung lima mung papat mengane,

Jagang jero, toyanira wening,

Tur pinacak suji,

Gayam turut lurung.

Secara garis besar, lirik dari tembang tersebut menunjuk keberadaan beteng yang mengitari keraton, memiliki lima plengkung yang hanya tersisa empat, memiliki parit, dengan pohon gayam yang turut bersemi di sekelilingnya.

 

Revitalisasi Beteng Mengacu pada Undang-Undang 

Beteng yang awalnya menjadi pemisah tegas antara keraton dengan dunia di sekelilingnya, kini terbuka bagi rakyat yang bernaung di dalamnya. Keberadaan beteng tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Yogyakarta, mengelilingi Keraton Yogyakarta.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 186 Tahun 2011 ada enam (6) kawasan  cagar budaya yaitu Kotagede, Keraton, Malioboro, Pakualaman, Kotabaru, dan Imogiri yang mencakup zona inti, zona penyangga, dan potensi kawasan baik tangible maupun intangible. Termasuk di dalamnya adalah Bangunan, benda, struktur, situs, dan  kawasan cagar budaya yang terkait  dengan Keraton Yogyakarta. Menurut Keputusan Gubernur DIY nomor 75/ KEP/2017, pembagian zona Kawasan Cagar Budaya Keraton Yogyakarta adalah sebagai berikut:

 

Sebagai salah satu warisan budaya yakni sebagai situs cagar budaya, beteng senantiasa harus dijaga keutuhannya, salah satunya dengan melakukan revitalisasi. Sebagaimana hal ini telah tercantum pula dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 01/PRT/M Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Cagar Budaya Yang Dilestarikan.

Adapun pasal tersebut menerangkan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. [vin]

 

Humas Pemda DIY

 

Sumber: 

https://www.kratonjogja.id/tata-rakiting-wewangunan/5/benteng-keraton-yogyakarta, diakses Jumat (02/08) pukul 11.15 WIB

Hadiyanta, Ign. Eka. 2015. Kawasan Cagar Budaya di Yogyakarta: Citra, Identitas, dan Branding Ruang. Yogyakarta: Jurnal Widya Prabha. Vol. 04/ IV/ 2015.

Carey, Peter. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: KPG

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/benteng-di-keraton-yogyakarta/ diakses Jumat (02/08) pukul 14.00

http://jdih.jogjaprov.go.id/storage/1491442813skgub75-2017.pdf Diakses Jumat (02/08) pukul 15.00

 https://www.kratonjogja.id/ragam/11/geger-sepehi fbclid=IwAR2vRU6EunZJ_enOnuvbGQGHWIX6P9cIjlAIJZWodwNTMSCcAlQbqsPB98g Diakses Jumat (02/08) pukul 17.00

BPCB. Lensa Budaya 2:Menguak Fakta, Mengenali Keberlanjutan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Kebudayaan RI

Bagaimana kualitas berita ini: