05 Jul 2024
  Humas DIY Berita,

Ayam Ingkung, Warisan Kuliner Sarat Filosofi

Bantul (05/07) jogjaprov.go.id – Kebanyakan masyarakat Jawa tak lagi asing dengan salah satu kuliner tradisional legendaris Ayam Ingkung. Sejak dahulu hingga saat ini, Ayam Ingkung menjadi masakan turun temurun yang kerap disajikan dalam upacara adat yang ada di Jawa termasuk DIY, seperti kenduri, nyadran/ruwahan, dan rasulan. Kehadiran Ayam Ingkung dalam upacara adat pun dinilai sakral lantaran menyimbolkan suatu filosofi. 

Dikutip dari buku ‘Atlas Walisongo’ karya Agus Sunyoto disebutkan bahwa Ayam Ingkung berasal dari ayam tu-kung. Ayam tu-kung adalah sesaji yang berakar dari agama kapitayan yang dahulunya berkembang jauh sebelum agama Islam masuk ke nusantara, yang mana kemudian berkembang menjadi Ayam Ingkung. Ayam tu-kung atau ingkung ini menjadi sesaji yang dipersembahkan dengan tumpeng.

Konon katanya, Ayam Ingkung memiliki arti mengayomi. Kata Ingkung ini diambil dari kata "jinakung" dalam bahasa Jawa kuno dan "manekung" yang berarti memanjatkan doa. Pemilihan ayam sebagai bahan pokok sajian khas Jawa ini juga bukan tanpa makna. Zaman dahulu, ayam dipilih sebagai salah satu sesaji sebagai simbol manusia. Posisi Ayam Ingkung yang disajikan dengan utuh dan terlihat sedang bersungkur menggambarkan apaila di hadapan pencipta-Nya, manusia harus menunduk atau merendah dan berdoa kepada-Nya.

Seiring perkembangan zaman, Ayam Ingkung tidak hanya dapat ditemui dalam upacara adat namun juga mulai dijual secara bebas di berbagai penjuru daerah. Di DIY, masakan bercitarasa gurih ini mudah ditemukan di daerah Bantul, salah satunya yaitu Ingkung Cancut Taliwondo Mbah Kentol milik Mbah H. Raden Dalijan atau kerap disapa Mbah Kentol. Lokasinya berada di daerah Kentolan Lor, Guwosari, Pajangan, Bantul.

Tim HumasJogja pun berkesempatan mengunjungi Ingkung Cancut Taliwondo Mbah Kentol pada Rabu (03/07). Mbah Dalijan menyebutkan, usaha kulinernya tersebut telah berdiri sejak tahun 2015. “Saya buka usaha Ayam Ingkung ini berangkat dari sejarah waktu perang. Ini menjadi perjuangan demi melestarikan seni dan budaya kita sebagai orang Jawa. Dulu satu ayam ingkung dinikmati 100 orang untuk kenduri, sesuwir-suwir. Nah sekarang satu ingkung bisa dinikmati 4 orang karena sudah merdeka,” ujar Mbah Dalijan.

Lelaki berusia 68 tahun tersebut menyampaikan, nama Ingkung Cancut Taliwondo dipilih sebagai pengejawantahan dari semangat, keberanian, dan persatuan ketika pribumi melawan penjajah dahulu. Penyajian ayam ingkung usaha miliki Mbah Dalijan ini pun disajikan berbeda dengan ayam ingkung lainnya, yakni dengan menggunakan kreneng.

Ayam Ingkung yang merupakan seekor ayam lanang atau ayam jantan ini disajikan di dalam kreneng yang berasal dari anyaman bambu dan diikat menggunakan tali suh untuk mengeratkannya selama dimasak di dalam panci kurang lebih selama 4 jam. Mbah Dalijan mengungkapkan, Ayam Ingkung yang berada dalam kreneng yang diikat dengan tali suh ini menggambarkan keadaan NKRI yang pada akhirnya mencapai keamanan dan persatuan di bawah kepemimpinan Presiden RI setelah merdeka.

Di rumah makan Ingkung Cancut Taliwondo ini, ayam ingkung pun biasanya dinikmati dengan kuah santan hasil rebusan saat memasak ingkung ditemani lalapan sambal dan tumis daun pepaya. Selain pesanan, biasanya Ingkung Cancut Taliwondo Mbah Kentol dapat menjual sebanyak 10-20 ayam ingkung setiap minggunya. Apabila sedang berkunjung ke daerah Bantul, wisatawan dapat mengunjungi Ingkung Cancut Taliwondo Mbah Kentol dari pukul 10.00 hingga 20.00 WIB.  (Han/Yci/Ip/Fn/Sd/Cbs/Mra/Wa/Ed/Jon)

Humas Pemda DIY

Bagaimana kualitas berita ini: