04 Jul 2024
  Humas DIY Berita,

Batik Naskah Mengembalikan Fungsi Batik Sebagai Ilmu Pengetahuan

Yogyakarta (04/07/2024) jogjaprov.go.id - Batik sebagai salah satu warisan budaya memiliki filosofi yang mencerminkan identitas dan nilai-nilai spiritual dari masyarakat yang menciptakan batik tersebut, mencakup makna-makna mendalam yang terkait dengan budaya, sejarah, dan nilai-nilai yang terkandung pada motif dan teknik pembuatannya. 

Guna melestarikan dan mengenalkan filosofi batik tersebut, khusunya batik Yogyakarta, diselenggarakan Pengenalan buku Batik Pakualaman: Antara Tradisi, Sastra dan Wastra oleh GKBRAA Paku Alam di Bangsal Kepatihan Pakualaman pada Kamis (04/07). Acara ini dihadiri oleh Keluarga dan kerabat Puro Pakualaman, Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Ketua Dekranasda DIY, Forkopimda, dan Paguyuban Sekar Jagat serta segenap tamu undangan.

“Sebenarnya, buku ini sudah lama dicetuskan idenya, namun terkendala karena waktu dimana saya, bu Sakti dan pak Widyo tidak bisa bersatu untuk bertemu. Namun demikian, akhirnya alhamdulillah pada sore hari ini kita bertemu untuk melaksanakan pengenalan Buku Batik Pakulaman,” tutur Gusti Putri saat memberi sambutan. Berawal dari pandangan mata akhirnya jatuh ke hati. Ungkapan itu secara tepat menggambarkan apa yang terjadi pada Gusti Putri ketika berkali-kali menyaksikan gelaran kain batik.

Proses kecintaan itu telah terpupuk sejak kecil dihati Gusti Putri. Perasaan itu semakin berkembang ketika Gusti Putri berkesempatan membuka lembar demi lembar manuskrip kuno yang tersimpan di Widyapustaka, Perpustakaan Pakualaman Yogyakarta.

“Karena naskah-naskah tersebut itu bukan cetakan, tapi ditulis tangan dan gambarnya juga digambar pakai tangan, jadi setiap lembar naskah itu digambar dengan luar biasa bagusnya dan mempunyai filosofi-filosofi yang luar biasa, yang saya fikir kenapa saya tidak mensosialisasikan filosofi-filosofi yang ada di naskah tersebut dengan media batik,” tutur Gusti Putri.

“Saya senang batik dan kecintaan itu tumbuh dari keluarga yang suka membatik. Eyang-eyang saya dulu dari Batang, Pekalongan, eyang saya membatik. Itulah mengapa saya senang membatik. pada akhirnya saya menjadi menantu dalem KGPAA Paku Alam IX dan beliau bersama ibu pada waktu itu menyuruh saya untuk memanfaatkan Bangsal Batikan yang sudah tidak digunakan,” terang Gusti Putri.

“Saya terbesit kenapa sih nggak Batik Pakualaman. Akhirnya dengan tim, kita merasa bahwa ayolah kita menggunakan bangsal batikan itu benar-benar untuk membatik,” ungkap Gusti Putri.

Menurut Gusti Putri, salah satu keistimewaan manuskrip Pakualaman adalah keberadaan aneka gambar yang menyertai teksnya. Dari pengalaman itulah terbesit sebuah keinginan Gusti Putri untuk mengalihwahanakan gambar-gambar dari manuskrip kuno itu ke wastra batik. Lalu Gusti Putri Bersama tim perpustakaan dan tim pembatik bekerjasama mulai membuat Batik Pakualaman.

Diakui Gusti Putri, untuk menjadikan satu lembar kain batik itu tidaklah mudah. Gusti Putri juga memikirkan gambar apa yang akan dibuat batik. Karena tidak semua iluminasi yang ada di naskah bisa dibatik. Ada syarat-syarat yang luar biasa.

“Bahkan, naskah-naskah kuno di Pakualaman ini umumnya berusia 200 tahun jadi saya menganggap bahwa naskah-naskah itu hidup, saya tidak bisa membatik sembarangan. Tidak bisa melakukan kegiatan membatik menurut sesuai keinginan saya,” jelas Gusti Putri. Dikatakan oleh Gusti Putri bahwa ada laku prihatin yang harus dilaksanakan seperti menep, hening dulu, untuk melakukan giat membatik dari naskah menjadi batik.

Gusti Putri mengucap syukur alhamdulillah, harapan itu pun terwujud berkat dukungan dan kerja sama yang baik dari tim penciptaan Batik Pakualaman. Gusti Putri juga mengucapkan terima kasih dan apresiasi kepada semua panitia yang telah mewujudkan acara ini, khusus kepada  bu sakti dan Pak Widyo yang telah bersusah payah mengolah, mengusahakan bagaimana sebaiknya buku batik ini.

Tak lupa Gusti Putri menghaturkan terima kasih kepada KGPAA Paku Alam X Karena beliau yang selalu mendukungnya untuk bisa berkarya dengan batik-batik tersebut. Gusti Putri berharap, Buku Batik Pakualaman ini bisa bermanfaat bagi semua masyarakat Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya.

Sebelum acara dilanjutkan dengan pemaparan pengenalan Buku Batik Pakualaman oleh narasumber, terlebih dahulu hadirin menyaksikan persembahan satu buah tari yaitu Sajian Beksan Tyas Muncar dan peragaan kain-kain Batik Pakualaman.

Dalam peragaan kain-kain Batik Pakualaman ini ditampilkan diantaranya, Batik Sestra Lukita, Batik Indra Widagda, Batik Yama Linapsuh. Batik Surya Mulyarjo, Batik Bayu Krastala, Batik Wisnu Mamuja, Batik Brama Sembada, Batik Baruna Wicaksana dan Batik Asthabrata Jangkep. Batik-batik ini adalah sebagian kecil dari 120 Batik Pakualaman yang telah dibuat.

Motif batik Indra Widagda terisnpirasi dari renggan tentang Bhatara Indra dalam Ajaran Asthabrata. Dalam Asthabrata versi Pakualaman, Dewa Indra adalah dewa ilmu pengetahuan. Seorang pemimpin dituntut untuk cerdik cendekia dan menjadi tempat bertanya bagi rakyatnya. Ilmu pengetahuan digambarkan dalam gambar bulu angsa yang pada jaman dahulu menjadi pena/ alat tulis, tertancap pada bola dunia, serta gambaran kitab sebagai lambang ilmu pengetahuan. Batik Indra Widagda menjadi tema utama dalam Dhaup Ageng Bendara Pangeran Haryo Kusumo Kunto Nugroho, putra ke-2 Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku ALam X.

Dan Batik Baruna Wicaksana adalah motif yang terinspirasi dari renggan Lung janggi milet tranggana’ dari naskah Babar Palupyan. Batara Baruna dalam Asthabrata Pakualaman digambarkan sebagai teladan kepemimpinan yang pandai, bersahaja, dan mampu mengayomi. Untaian sulur dan bunga adalah lambang berlikunya masalah yang harus dihadapi seorang pemimpin dengan sikap tenang dan  bersahaja, sehingga mengayomi rakyat yang dipimpinnya.

Narasumber, Nyi. M.T. Sestrorukmi saat sesi paparan menyampaikan, filosofi batik mencakup makna-makna mendalam yang terkait dengan budaya, sejarah, dan nilai-nilai yang terkandung pada motif dan teknik pembuatannya. Filosofi mencerminkan identitas dan nilai-nilai spiritual dari masyarakat yang menciptakan batik tersebut.

Didalam Adiwastra atau kain tradisional nan indah, terkandung makna dan simbol tersendiri, yang tersirat didalam wujud dan nama motifnya. Hal ini dikelompokkan dalam empat seri yaitu, Seri Asthabrata, Seri Nges Ruming Puri, Seri Pepadan, dan Seri Piwulang Estri.

Sementara narasumber K.M.T. Widyo Hadiprojo dalam paparannya menjelaskan, Batik naskah merupakan sebuah upaya untuk memperkaya motif batik dan sekaligus merupakan tafsir baru atas motif-motif dekoratif lama dengan pemaknaan baru. Meskipun demikian, menurutnya, kontinuitas masih menjadi pertimbangan dalam penciptaan motif-motif baru. Motif-motif dekoratif lama dalam naskah dialihwahanakan sebagai motif baru batik.

“Batik naskah membuktikan bahwa batik tidak hanya sekedar fashion. Batik Kembali memasuki ranah ilmu, pengetahuan, sebagaimana pada awal perkembangannya,” ucapnya. Ia mengatakan, dalam dua bab terakhir pada Buku Batik Pakualaman, diungkapkan bahwa pada setiap helai batik naskah tersembunyi filosofi dari motif yang tertulis pada batik itu.

Hal ini menunjukkan bahwa inovasi berupa batik naskah yang dilakukan GKBRAA Paku Alam secara tidak langsung mengembalikan fungsi batik sebagai sarana pembelajaran moral, etika, dan filsafat. Serta nilai-nilai luhur yang diharapkan diteladani oleh keluarga besar Pakualaman dan masyarakat pada umumnya.

Acara diakhiri dengan penyerahan Buku Batik Pakualaman dari GKBRAA Paku Alam kepada perwakilan peserta pengenalan Buku Batik Pakualaman. Diantaranya, Prof. Mateu Isac Cohen dari Yale University, Amerika. Silvi Werdany Puntowati dari Volken Kunde Museum dan Ibu Ketua Bhayangkari dari perwakilan Forkopimda. Serta diikuti penyerahan buku kepada seluruh hadirin oleh panitia. (Ft/Rd/Ind).

HUMAS PEMDA DIY

Bagaimana kualitas berita ini: