27 Mei 2024

Pemda DIY Studi Banding Pengelolaan WBD ke Bali

Badung (27/05/2024) jogjaprov.go.id - Dengan ditetapkannya Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO, Pemda DIY memiliki tanggung jawab untuk memeliharanya. Berbagai upaya pemeliharaan dilakukan, mulai dari belajar dari daerah yang sudah lebih dulu mendapatkan WBD, hingga membentuk badan pengelola.

Tahun 2012, sistem pengairan Subak dari Bali, mendapatkan pengakuan WBD dari UNESCO. Selama 12 tahun mengelola WBD Subak, menjadi alasan Pemda DIY untuk melakukan studi banding pengelolaan WBD di Bali dalam rangka upaya pelestarian Sumbu Filosofis Yogyakarta. Studi banding ini dipimpin langsung oleh Sekretaris Daerah DIY, Beny Suharsono pada Senin (27/05) di Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali.

Dikatakan Beny, pasca penetapan WBD Sumbu Filosofi Yogyakarta pada 18 September 2023 lalu, Pemda DIY telah melakukan beberapa langkah strategis. Dari sisi regulasi, telah terbit Keputusan Gubernur DIY Nomor 360/KEP/2023, tentang Sekretariat Bersama Pengelolaan Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta.

"Keputusan Gubernur ini digunakan sebagai fondasi untuk memastikan fungsi komunikasi; penyiapan kebijakan dan strategi pengelolaan; koordinasi-integrasi perencanaan, operasional, monitoring, dan evaluasi; serta mendukung fungsi pelaporan. Kesemua fungsi itu menjadi urgensi, maka kami merasa tepat memilih Bali sebagai tujuan studi banding karena Subak telah lebih dahulu ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, bahkan hingga saat ini, masih konsisten mempertahankannya," paparnya.

Beny mengatakan, atribut WBD Sumbu Filosofi Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu adanya tekanan pembangunan, tekanan lingkungan, kesiapsiagaan bencana, isu pariwisata berkelanjutan, dan eksistensi sosial-budaya masyarakat sekitar. Dari sisi budayanya, Beny pun menuturkan, terdapat kemiripan antara WBD Sumbu Filosofi Yogyakarta dengan Sistem Subak di Bali, yakni budaya secara filosofis.

"Karena itu, kami berharap dengan kunjungan hari ini, dapat menjadi sarana untuk diskusi terkait pelestarian cagar budaya dan objek pemajuan kebudayaan. Sehingga, bisa kami adaptasi dan implementasikan pada pengelolaan Sumbu Filosofi Yogyakarta. Selain itu, dengan turut sertanya perwakilan jurnalis Yogyakarta hari ini, menjadi harapan kita bersama dapat menjadi upaya diseminasi informasi pengelolaan cagar budaya," imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV, Abi Kusno mengatakan, Subak sebagai WBD tidah hanya sebatas persawahan saja, tapi lebih kepada Subak dalam artian sebuah sistem. Sistem Subak dengan segala ritual-ritualnya cukup mirip dengan WBD Sumbu Filosofi Yogyakarta, di mana filosofi Tri Hita Karana menjadi hal paling penting dalam sistem Subak.

"Dalam perwujudan Tri Hita Karana, ada Parahyangan, Pawongan dan Palemahan yang dapat diartikan bentuk hubungan antara Tuhan, Manusia dan Lingkungan. Dalam hal ini, ketika Subak hilang maka keseimbangan kehidupan akan goyah," ungkapnya.
Menurut Abi, luas persawahan dengan sistem Subak di Bali yang diakui UNESCO meliputi sekitar 21Ha. Persawahan dengan sistem Subak tersebar di Bali mulai dari Danau Batur, Pura Ulun Ulun Danau Batur, Landskap Subak Pakerisan, Subak Catur Angga Batukaru hingga Pura Taman Ayun yang memperlihatkan hulu ke hilir. Dari masyarakat sendiri diungkapkan Abi masih banyak masyarakat yang memiliki keinginan untuk mempertahankan Subak dengan serangkaian ritualnya, namun tentu hal ini perlu didukung semua pihak.


"Dalam pengelolaan WBD sistem Subak ini kami juga menemui berbagai tantangan. Tantangan terbesar untuk sistem Subak tentunya konversi lahan pertanian. Tantangan lainnya tentu ada bencana alam seperti longsor, sumber air yang terancam, dan juga regenerasi petani," imbuhnya.
Abi pun menyebutkan, WBD sistem Subak dalam dua tahun terakhir mendapat beberapa catatan merah dari UNESCO, salah satunya karena hilangnya lahan pertanian. Namun kerisauan dalam pengelolaan sistem Subak juga termasuk bagaimana mempertahankan filosofi di dalam sistem Subak tersebut.
"Subak akan tetap ada, karena menjadi bagian dari hidup warga Bali. Masih banyak masyarakat pelaku sistem Subak yang merasa takut secara kepercayaan untuk meninggalkan ritual-ritualnya dengan menjual tanah persawahan mereka," imbuhnya. (Uk/Rt/Sis/Ts/Rd)

HUMAS DIY

Bagaimana kualitas berita ini: