22 Agt 2024

Relokasi Teras Malioboro 2 Dipastikan Dilakukan Pada 2025

Yogyakarta (20/08/2024) jogjaprov.go.id - Pemda DIY memastikan relokasi pedagang Teras Malioboro 2 akan dilakukan pada 2025 mendatang. Pembangunan lokasi baru saat ini sudah mulai dilakukan, terpusat pada 2 tempat, yaitu Beskalan dan belakang Ramayana.

Kepala Dinas Koperasi dan UKM DIY Srie Nurkyatsiwi mengatakan, Pemda DIY  menyiapkan lokasi yang tetap premium untuk lokasi barui Teras Malioboro 2. Tidak tanggung-tanggung, dari pengadaan lahan hingga pembangunan, setidaknya Pemda DIY mengeluarkan sekitar Rp 170 miliar, dari Dana Keistimewaan. Terbagi menjadi 2 kawasan, karena jumlah pedagang di TM 2 sebanyak 1041 pedagang, jauh lebih banyak dari pedagang TM 1.

Lokasi pertama yang dipilih adalah Beskalan, menyatu dengan TM 1. Lokasi ini bisa diakses dari pintu yang sama dengan TM 1. Selain itu, bisa juga diakses dari depan Ramai Mall atau Jalan Beskalan. Sementara untuk lokasi belakang Ramayana, bisa diakses dari sebelah barat atau Jalan Malioboro, dan sebelah utara, melewati Gapura Pecinan di Jalan Ketandan.

“1.041 itu tidak sedikit. Itu pedagang tidak hanya sekedar ditumpuk langsung sehingga tidak teratur. Kita siapkan tempat yang memang memadai. Jadi kalau masyarakat berkunjung, mereka juga nyaman,” ungkap Siwi pada Konferensi Pers, Kamis (20/08) di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta.

Siwi menjelaskan, Pemda DIY bahkan sudah menyiapkan parkiran untuk pengunjung Teras Malioboro yang berlokasi di belakang Ramayana, yaitu eks kampus UPN di Jl. Ketandan. Selain fasilitas tersebut, ada berbagai fasilitas dan keuntungan yang akan didapatkan oleh para pedagang tersebut. Fasilitas seperti toilet, mushola dan ruang terbuka juga disediakan. Masih pula ditambah dengan fasilitas seperti air bersih dan listrik.

“Komitmen Pemda DIY  ini sangat luar biasa. Contohnya di Teras malioboro 1 saat kepindahan yang awal dan itu juga sampai mereka settle. Ini kan tidak ditarik apapun semua dari Pemda. Artinya kan fasilitas dari Pemda DIY yang disupport melalui Danais itu belum bayar retribusi, listrik juga di support. Tapi yang perlu kita tekankan adalah ada komitmen dari mereka mau berbenah sesuai dengan apa yang memang kita hadapi bersama,” papar Siwi.

Selain menyamakan semua fasilitas dengan Teras Malioboro 1, Siwi menambahkan, ada ada berbagai strategi yang siapkan untuk mendongkrak penjualan. Ia menyebut akan ada rekayasa pengunjung dengan berbagai cara, seperti pertunjukan dan berbagai event. Selain itu ada peningkatan kapasitas SDM. Akan ada pendampingan dan pembinaan untuk para pedagang, seperti yang dilakukan di Teras Malioboro 1.

“Mereka juga akan memiliki legalitas.Nanti mereka ini akan mendapatkan Nomor Induk Berusaha atau NIB. Harapannya dengan yang resmi, mereka juga legal. Teman-teman di Teras Malioboro 1 yang tadinya nggak punya NIB, sekarang sudah punya NIB. Ini juga yang akan kita lakukan,” jelas Siwi.

Bahkan hingga saat ini, untuk TM 1 saja, Pemda DIY masih menggelontorkan Rp 7 Miliar/tahun untuk operasional TM 1. Gambaran inilah yang juga nantinya akan diterapkan pada pengelolaan TM 2. Siwi menyebut, Pemda DIY tidak mengharapkan dana yang digelontorkan kembali dalam bentuk dana juga, tetapi bisa kembali dalam bentuk kesejahteraan masyarakat.

Untuk siapa saja yang bisa bisa menempati lokasi baru ini, sudah bisa dipastikan hanya pedagang yang saat ini berada di TM 2 saja. Data sudah didapatkan dari Pemerintah Kota Yogyakarta dan di kunci, by name by address.

“Jadi di Teras Malioboro itu kan tempatnya adalah by name by address ya sesuai NIK. Nah legalitasnya kalau sudah by name by address dan itu lapaknya jelas. NIB nanti akan melekat di sana. Ngurusnya kita dampingi,” ungkap Siwi.

Terkait dengan relokasi tersebut, sejumlah pedagang mengaku tidak keberatan. Sebelum berpindah dari selasar jalan Malioboro ke teras Malioboro, mereka mengatakan sudah tau bahwa TM 2 ditempati sementara waktu saja.

Dodik Nordianto, dulunya berjualan kaos di Mirota Batik, dan turut direlokasi ke TM 2. Dia mengatakan, sebelumnya ketika berjualan di selasar sejak tahun 1987 lalu, tidak ada legalitas yang memayungi. Walaupun tidak dipungkiri, omset penjualan di selasar jauh lebih tinggi daripada di TM 2.

Terhadap kebijakan relokasi dari TM 2 pun Dodik mengaku sudah disampaikan dengan gamblang oleh pemerintah. Ia juga telah beberapa kali mengikuti sosialisasi mengenai tindak lanjut terhadap masa depan pedagang TM 2. “Sudah ada komunikasi, sudah menerima sosialisasi. Tinggal pelaksanaannya saja. Sekarang memang kita ndherek pemerintah, kontraknya sudah individual, sudah personal,” ungkap Dodik.

Dodik menilai, pemerintah daerah sudah menerapkan asas tepa selira. Ketika terbit kebijakan mengenai sumbu filosofis, pemerintah tidak serta merta menggusur pedagang di selasar Malioboro, namun memberikan alternatif tempat. Dimana hal ini, tidak banyak terjadi di daerah lain. Apalagi menurutnya, terlepas dari dampak positif dan negatifnya, sumbu filosofis dia yakini akan memberikan manfaat lebih luas untuk masyarakat, tidak hanya PKL saja.

“Relokasi ini memang kebijaksanaan pemerintah, di mana pemerintah sudah menimbang risiko untung dan ruginya. Jadi ketika ini lebih bermanfaat untuk masyarakat Jogja dan sekitarnya, ya monggo kita menyesuaikan dengan apa yang menjadi kebijaksanaan pemerintah ,” kata Dodik.

Meskipun tidak keberatan dengan relokasi, namun Dodik berharap, pemerintah tetap mendampingi  agar bisa mengangkat kesejahteraan. Ia juga berharap, tempat relokasi ini nantinya bisa menjadi icon  wisata di Malioboro.

Edion, warga Gamping, yang saat ini berjualan kaos juga di TM 2, mendukung pernyataan Dodik.  Keberadaan TM 2 baginya merupakan anugerah luar biasa. Tadinya, Edion berjualan di area 0 km, tanpa ada lapak. Maka, ketika dipindahkan ke TM 2, dia sangat bersyukur. Saat ini, dirinya tidak perlu takut kehujanan dan diterpa panas, karena sudah menempati tempat yang lebih layak di TM 2.

“Biasanya saya kehujanan, kepanasan. Sekarang tidak lagi, tidak dorong gerobak lagi, tinggal buka lapak. Fasilitas komplit, toilet, listrik dan lainnya,” ungkapnya.

Sebelumnya, Edion sudah tahu persis rencana pemindahan pedagang TM 2 ke tempat yang baru. Ia juga memahami sejak awal, TM 2 hanya bersifat sementara saja, dan hanya 2 tahun saja ditempati. Rencana ini juga tidak sekali dua kali sosialisasikan, saat mereka sudah berdagang di TM 2. Bahkan menurutinya, ada audio monitor di sudut-sudut TM 2 yang diputar berulang, mengenai sosialisasi, termasuk pernyataan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku  Buwono X mengenai kontrak relokasi dengan individu pedagang.

“Saya tahu persis rencana itu sudah jauh-jauh hari, bahwa di TM 1 permanen dan di TM 2 sementara.  Rencananya 2025 ini akan kembali direlokasi untuk pindah ke tempat yang lebih permanen. Tidak masalah, mudah-mudahan akan lebih baik dari yang sekarang,” ungkap Edion.

Edion berharap ketika sudah direlokasi, pemerintah tetap mengawal pedagang. Ia juga ingin mendapatkan program-program pengembangan agar usaha yang digelutinya naik kelas. Ia melihat, banyak pedagang di TM 1 yang sudah naik kelas, dengan produk yang terkurasi. Edion juga berharap kesempatan berkembang itu nanti juga ia dapatkan.

“Saya terbuka untuk pembaruan. Saya juga melihat teman-teman di TM 1 maju sekali, namanya rezeki memang lain-lain. Mereka berkesempatan mengenalkan produk sampai ke luar Jawa. Kami berharap kami nanti juga mendapat pelatihan-pelatihan dari Pemerintah DIY. Saya mohon nanti pihak terkait seperti Dinas Kebudayaan dan Dinas Koperasi bisa membantu kami dengan pelatihan-pelatihan atau bagaimana caranya pengunjung itu masuk ke tempat kami,” tutup Edion.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi mengatakan, secara historis, Malioboro memiliki nilai yang cukup tinggi, yakni sebagai marga raja atau jalan utama kerajaan, atau disebut juga dengan maliabara atau jalan penuh bunga. Malioboro pun menjadi sebuah segmen dalam sumbu filosofi Yogyakarta yang kini telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia.

“Ini yang perlu terus kita diseminasi kepada masyarakat, bahwa sumbu filosofi itu tidak hanya penggal Malioboro saja, tapi termasuk semua hal dinamika yang terjadi di sana. Dan rencana Pemda DIY maju ke UNESCO itu sebenarnya bukan merupakan tujuan utama. Tujuan utamanya adalah keinginan kita untuk tetap melestarikan nilai, karakter, dan identitas jati diri masyarakat DIY,” ungkapnya.

Dian mengatakan, menjadi warisan dunia hanyalah bonus dari upaya pelestarian ini. Identitas dan jati diri DIY dan masyarakatnya ini bermakna pada filosofi-filosofi yang membangun Yogyakarta sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Dan filosofi-filosofi tersebut tidak hanya menjadi bagian dari kognitif masyarakat, tetapi tercermin pula dalam sikap perilaku, dan akhirnya menjadi karakter dan identitas masyarakat Yogyakarta.

“Ketika kita berpikir bahwa tantangan ke depan, karakter dan identitas itu bisa luntur, maka salah satu cara yang kita sepakati adalah harus maju ke dunia. Mengapa? Karena kalau melalui pengakuan dunia, maka identitas dan jati diri itu sebenarnya tidak hanya diakui oleh masyarakat DIY atau Indonesia saja, tetapi masyarakat dunia juga mengakui. Kalau ke depannya kita tidak mampu menjaga, ya berarti identitas dan karakter jati diri masyarakat DIY juga tidak ada,” tegasnya.

Dalam hal ini, Dian pun menekankan jika Pemda DIY sudah tidak lagi berbicaranya kepentingan antar kepentingan, tapi sudah berbicaranya secara makro. Peruntukan sumbu filosofi, di mana Malioboro menjadi bagian di dalamnya, tentu untuk kemaslahatan tidak hanya masyarakat DIY, Indonesia, bahkan dunia.

“Mohon diingat satu hal yang paling penting, Malioboro itu bukan hanya milik siapa yang sedang berada di Malioboro. Malioboro itu milik seluruh masyarakat DIY, bahkan sekarang Indonesia pun ketika diakui, mereka merasa memiliki, bahkan dunia. Jadi semua orang berhak terhadap Malioboro, bukan hanya siapa saja yang berlaku dan bertindak di Malioboro. Yang di ujung Gunungkidul, Kulon Progo, Sleman, Bantul, mereka juga berhak terhadap Malioboro,” ungkapnya.

Menurut Dian, masyarakat dengan nilai filosofi Jogja yang diusung ke warisan dunia adalah masyarakat yang tahu mana hak dan kewajibannya, tahu peran, tugas, dan fungsinya, tanpa melanggar hak dan kewajiban orang lain. Dan jika berpikir ke depan, Malioboro tidak hanya boleh dinikmati generasi dulu dan sekarang, tapi juga menjadi milik generasi yang akan datang.

“Untuk itu, semua sudah ada tahapannya. Bahkan tahapan demi tahapan sudah kami laporkan ke UNESCO. Tahapan yang paling mendasar adalah Bapak Gubernur selaku penanggung jawab keseluruhan kawasan warisan dunia yang ada di Yogyakarta, mengedukasi masyarakatnya. Bagaimana masyarakatnya paham, hak saya apa, hak anda apa, dan saling bersanding tanpa melanggar atau malah mengambil hak orang lain. Prinsipnya adalah itu,” tuturnya.

Dian mengatakan, dalam upaya membangun kawasan sumbu filosofi, tentu tidak bisa jika hanya berfokus pada fisik bangunan saja, tapi pembangunan nilai juga perlu dilakukan. Dan cara termudah yang dapat dilakukan masyarakat adalah taat aturan. Apalagi menurut Dian selama ini sudah cukup banyak hak yang terlanggar. Sehingga harus ada cara-cara penataan yang mengkolaborasi, antara bagaimana masyarakat memahami edukasi hak dan kewajibannya, dengan bagaimana masyarakat melihat visual yang akan dilakukan saat ini.

“Tahapan yang kita siapkan, penataan PKL misalnya. Apakah PKL dulu haknya di sana (selasar Malioboro)? Apakah ada hak yang terlanggar ketika PKL berada di lorong selama ini, sebelum kita melakukan penataan? Sehingga itu kemudian menjadi penggalihan Bapak Gubernur, harusnya 18 tahun yang lalu ketika beliau ingin masyarakatnya sadar akan hak dan kewajiban masing-masing,” ungkapnya.

Mengenai konkret penataannya, Dian mengatakan penataan akan berjalan pararel antara fisik dengan pembangunan mental. Pembangunan mental berupa nilai-nilai ini tentu tidak mudah dan tidak terlihat seperti pembangunan fisik. Sementara penataan PKL, tentu akan dilakukan mengingat PKL juga telah menjadi bagian dari Sejarah Malioboro, meski pada dasarnya PKL dulunya tidak ada di kawasan ini.

“Jadi cara-cara humanisme yang coba kita siapkan, bagaimana PKL itu bisa hidup sebagai bagian dari penanganan kita. Dengan cara yang kemudian bertahap, kita memberikan kelayakan untuk teman-teman PKL, sekaligus memberikan pengertian dan edukasi tentang hak. Dari yang tidak legal menjadi legal, dari yang tidak terfasilitasi menjadi terfasilitasi,” paparnya.

Soal penataan fisik, Dian mengungkapkan, nantinya akan ada beberapa bangunan yang menguatkan sumbu filosofi, salah satunya Jogja Planning Gallery. Kemudian ada pula penataan dengan memanfaatkan bangunan-bangunan lama yang sudah menjadi ciri Malioboro, seperti Hotel Mutiara, pengkondisian Teras Malioboro, dan Pasar Beringharjo. (Uk/Rt/Han/Wa/Cb/Th)

HUMAS DIY

Bagaimana kualitas berita ini: