04 Agt 2024
  Humas DIY Berita,

Trah Mataram Kisahkan Kesatuan Prajurit Dalam Catur Sagatra 2024

Yogyakarta (04/08/2024) jogjaprov.go.id – Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY kembali menyelenggarakan gelar budaya Catur Sagatra 2024 guna menggali dan mengenalkan kembali sejarah tentang adiluhungnya peradaban Mataram kepada masyarakat. Pada pergelaran kali ini, melalui tema ‘Mahadiwara Prajasena Dinasti Mataram’, 4 penerus dinasti Mataram Islam, yaitu Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Pura Pakualaman, dan Pura Mangkunegaran hadir mengisahkan sejarah kesatuan prajurit masing-masing.

Berlangsung selama 2 hari pada 2-3 Agustus 2024 di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, tema keprajuritan yang diangkat direfleksikan melalui beberapa kegiatan antara lain pameran kostum prajurit, atraksi/defile prajurit, dan pertunjukan tari klasik yang digelar sebagai acara puncak. Gelaran ini pun mampu menyedot ratusan hingga ribuan masyarakat untuk melihat dan menyaksikan langsung kegiatan-kegiatan yang memamerkan kekhasan prajurit dari keempat penerus dinasti Mataram Islam.

Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam X beserta istri GKBRAA Paku Alam, turut menghadiri langsung pementasan tari klasik yang dipersembahkan oleh 4 penerus dinasti Mataram Islam ini pada Sabtu (03/08) malam di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Selain itu, hadir pula GKR Mangkubumi, GKR Hayu, GKR Bendara, KPH Notonegoro, KGPAA Mangkunegara X, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram, GRAj Ancillasura Marina Sudjiwo, KPH Indrokusumo, dan Putra/Putri Sentana Dalem lainnya. Turut hadir anggota Forkopimda DIY, Sekda DIY, Kepala OPD di lingkungan Pemda DIY dan tamu undangan lainnya.

Kepala Dinas Kebudayaan DIY Dian Lakshmi Pratiwi dalam laporannya menuturkan, dari tajuk yang diusung kali ini, “Mahādiwira” merupakan kesatuan lingua-fanca dari rumpun Sansekerta yang berarti prajurit, tamtama, dan pemberani. Sementara Prajasena Dinasti Mataram merujuk pada kesatuan prajurit yang dimiliki oleh masing-masing praja keturunan Mataram Islam. Pemilihan tajuk tersebut merujuk pada catatan historis dari kesatuan prajurit masing-masing Praja Mataram yang dikisahkan pilih-tanding.

“Konsep ini diharapkan dapat menjadi sebuah upaya rekonstruksi memori kolektif yang diwujudkan melalui wahana pameran, atraksi prajurit, dan pertunjukan tari klasik sehingga daya reflektif akan kejayaan masa lalu mampu menjadi bekal dalam menyongsong ketahanan budaya di masa depan,” ujar Dian dalam puncak acara Catur Sagatra 2024 pada Sabtu malam (03/08).

Dian mengungkapkan, pergelaran catur sagatra itu sendiri dimaknai sebagai refleksi adiluhung dari pertalian wangsa sekaligus anjangsana tahunan dari empat penerus dinasti Mataram Islam, yakni Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Pura Mangkunegaran, dan Pura Pakualaman. Kegiatan Catur Sagatra ini merupakan upaya pelestarian warisan budaya termasuk di dalamnya upaya mengenalkan budaya dari Yogyakarta dan Surakarta secara luas pada masyarakat.

“Selain sebagai pusat pengembangan budaya, kegiatan ini juga merupakan upaya keempat penerus dinasti Mataram di Yogyakarta dan Surakarta untuk terus menjaga dan melestarikan budaya yang diwariskan leluhur,” kata Dian.

Pada kesempatan tersebut, KGPAA Mangkunegara X mengutarakan bahwa dirinya senang karena berkesempatan untuk berkarya bersama dengan tiga penerus dinasti Mataram Islam lainnya. Kesempatan ini sekaligus menjadi momen silaturahmi guna mempererat ikatan kekerabatan Trah Mataram.

“Tentunya ini juga menjadi suatu momen yang menyenangkan untuk saya. Belajar banyak dari beliau-beliau juga dan semoga kedepannya bisa berkolaborasi lebih sering lagi, bisa berkarya yang lebih baik lagi, lebih berdampak lagi, dan semoga kolaborasi ini bisa terus berjalan untuk waktu yang lama. Semoga masyarakat juga senang dengan apa yang kita lakukan bersama-sama dan semoga ini menjadi sesuatu yang bermanfaat juga bagi masyarakat,” tutur Gusti Bhre.

Dalam pementasan tari klasik kali ini, Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat mempersembahkan Beksan Jayenglaga. Tari ini merupakan beksan kakung yang menjadi Yasan Dalem (karya) ketujuh Sri Sultan Hamengku Buwono X. Cerita dari Beksan Jayenglaga yang merupakan beksan sekawanan ini berdasarkan lakon Panji yang mengisahkan tentang perseteruan Raden Jayanglaga dari Kerajaan Jenggala dengan Prabu Mandrasena dari Kerajaan Puser Angin. Peperangan ini terjadi saat Prabu Mandrasena berniat untuk memperluas daerah kekuasaannya hingga Jenggala. Namun niat itu gagal karena Prabu Mandrasena berhasil dikalahkan oleh Raden Jayenglaga.

Sementara itu, Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menampilkan Wireng Wira Iswaya yang merupakan bentuk Beksan Wireng baru Yasan Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono XIII yang diilhami dari “Wulang Dalem PB IX” yang dituangkan dalam “Serat Wira Iswara”. Wireng Wira Iswara memanifestasikan ajaran Wulang Dalem PB IX dalam Serat Wira Iswara dalam karya seni tari. 

Wira Iswara tersusun dari kata ‘wira’ yang berasal dari bahasa Sansekerta dan dipakai pula dalam bahasa Kawi memiliki arti ‘orang lelaki’, ‘prajurit berani’, ‘pemberani’, sedangkan kata ‘iswara’ yang juga berakar dari bahasa Sansekerta dan dipakai pula dalam bahasa Kawi memiliki makna ‘raja’. Dengan demikian, Wira Iswara dapat dimaknai raja pemberani, yang dalam hal ini apabila dikaitkan dengan Wireng Wira Iswara dapat diartikan sebagai karya tari yang berisikan nasihat atau wejangan-wejangan luhur dari seorang raja pemberani yang ditunjukan kepada para pemuda, yaitu secara khusus kepada putra dan putri dalem.

Beksan Wireng Srimpi Suralaksana Tridharma Tungga Wira (Srimpi Suralaksana) menjadi tarian yang dibawakan oleh Pura Mangkunegaran. Diciptakan di era pemerintahan KGPAA Mangkoenagoro X, tarian ini menceritakan tentang Prajurit Estri Mangkunegaran yang sedang latihan perang dan mengabdi dengan tulus tanpa pamrih dari dalam sanubari kepada Pangeran Sambernyawa (KGPAA Mangkoenagoro I) nyengkuyung adeging Praja Mangkunegaran. Mulat Sarira Hangrasawani (Tridharma) merupakan candrasengkala berdirinya Praja Mangkunegaran.

Beksan tersebut mencerminkan Prajurit Estri Mangkunegaran yang memiliki berbagai tugas. Berperang di medan perang dengan gagah berani dan menampilkan kesenian tradisional Mangkunegaran, tetapi juga mengerjakan tugas-tugas yang berkaitan dengan kehidupan seharihari. Prajurit Estri Mangkunegaran menjadi simbol dari nilai luhur Mangkunegaran, yaitu keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan yang mengedepankan harmoni dalam setiap aspek kehidupan. Prajurit Estri Mangkunegaran tidak hanya ada pada masa lampau, tetapi tetap ada di masa sekarang dan mengikuti perkembangan zaman serta tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini dengan tetap mempertahankan nilai sumber kehidupan (kesuburan dan intelektualitas) dan keindahan dalam melestarikan nilai luhur Mangkunegaran.

Adapun Pura Pakualaman mempersembahkan Beksan Inum yang menceritakan tentang penyambutan para legiun Pura Pakualaman yang pulang dari perang perdamaian di Aceh pada masa pemerintahan KGPAA Paku Alam IV. Pada saat itu, prajurit Pura Pakualaman bertugas sebagai pasukan perdamaian. Dalam perkembangannya, beksan Inum biasanya dipentaskan di Bangsal Sewatama Pura Pakualaman untuk penyambutan tamu penting dengan mengajak tamu minum bersama atau bersulang. (Han/Jon/Sd/Fn/Cbs/Mra/Yci/Ed/Ip/Wa)

Humas Pemda DIY

Bagaimana kualitas berita ini: